Taubat Orang yang Tidak Dapat Melakukan Maksiat
Di antara pertanyaan yang timbul di sini
adalah: apa hukum orang yang berbuat maksiat, jika saat bertaubat ia sudah tidak
dapat lagi melakukan kemaksiatan yang ia taubatkan itu, atau ia sudah telah
melemah sehingga tidak mungkin lagi melakukannya; apakah taubatnya itu
sah?
Seperti orang yang berbohong, yang
mengqadzaf orang lain, dan orang yang memberikan kesaksian palsu, jika lidah
orang itu telah terpotong (karena suatu kecelakaan dan sebagainya). Orang yang
berzina jika ia telah kehilangan nafsu untuk berzina. Penguasa yang zalim jika
ia telah diberhentikan dari kedudukannya, dan ia tidak mampu lagi berbuat
zhalim. Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai
dorongan lagi untuk berbuat maksiat.
Ibnu Qayyim berkata: dalam masalah ini
ada dua pendapat.
Satu
kelompok ulama berkata: taubatnya
tidak sah. Karena taubat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin
menjalankan atau meninggalkan perbuatan maksiat yang ia taubatkan itu. Taubat
dilakukan terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang
mustahil dikerjakan. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan taubat atas
memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa
alat atau sejenisnya.
Mereka berkata: karena taubat adalah
mengalahkan dorongan nafsu, dan mengikuti panggilan kebenaran. Sementara dalam
masalah tadi tidak ada dorongan nafsu lagi, karena ia tahu tidak akan mampu
mengerjakannya.
Mereka berkata: ini adalah seperti orang
yang dipaksa untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan, dan ditugaskan secara paksa
pula. Orang yang seperti ini tidak sah taubatnya.
Mereka berkata: yang diterima fitrah dan
akal manusia adalah, taubat orang yang pailit dan yang kejepit, adalah taubat
yang tidak dapat diterima, dan tidak terpuji. Malah mereka menamakannya sebagai
taubat orang pailit dan taubat orang kejepit.
Seorang penyair berkata: "Maka segera ku
tanyakan tentang taubatnya ku dapati ternyata taubatnya adalah taubat orang yang
pailit"!
Mereka berkata: ini juga menunjukkan
bahwa teks-teks yang banyak dan jelas menunjukkan bahwa taubat yang dilakukan
ketika datang maut adalah tidak bermanfaat. Karena itu adalah taubat orang yang
kepepet dan tidak memiliki pilihan lain: Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS. an Nisa: 17-18]
Dan "al-jahalah" di sini maksudnya
adalah: ketidak tahuan kerja, meskipun ia tahu akan keharaman itu. Qatadah
berkata: para sahabat Rasulullah Saw berijma' bahwa seluruh perbuatan yang di
dalamnya Allah SWT dimaksiati adalah kebodohan. Baik secara sengaja atau tidak.
Dan seluruh orang yang maksiat kepada Allah SWT adalah orang yang bodoh.
Sedangkan taubat secepatnya adalah: menurut mayoritas mufassir, taubat itu
adalah taubat sebelum orang itu menghadapi ajalnya. Ikrimah berkata: ia adalah
taubat sebelum mati. Dhahhak berkata: ia adalah taubat sebelum menjumpai
malaikat maut. As-Sudi dan al Kulabi berkata: yaitu agar orang bertaubat pada
waktu sehatnya dan sebelum ia sakit menjelang matinya.
[Sayyid Rasyid Ridha memberikan komentar
atas pendapat-pendapat itu: manusia banyak tertipu dengan zhahir
pendapat-pendapat ini dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran dan hadist-hadits
itu, membuat mereka banyak menunda taubat, dan terus melakukan kemaksiatan,
sehingga kemaksiatan itu melekat kuat dalam hati mereka, dan nafsu mereka
menyenanginya. Hal itu kemudian menjadi instink dan kebiasaan yang tidak dapat
--atau sulit-- untuk mereka lepaskan, kecuali dalam kasus yang langka saja.
Hingga datang ajal mereka, sementara mereka masih bergelimang dalam nafsu
mereka. Makna ayat itu bukanlah: bahwa taubat yang diridhai dan dijamin diterima
oleh Allah SWT adalah taubat atas kemaksiatan yang terus dilakukan oleh
seseorang hingga menjelang sakratul maut, hingga beberapa jam atau beberapa
menit sebelumnya. Namun yang dimaksudkan adalah: bertaubat tidak lama setelah
melakukan sesuatu dosa, sambil tidak mengulanginya lagi, seperti disebutkan pada
ayat yang lain. Dan barangkali yang dimaksudkan Ikrimah, Dhahhak dan yang
lainnya untuk menyesuaikan dengan makna hadits; bahwa Allah SWT akan menerima
taubat seseorang yang berbuat maksiat selama orang itu belum sekarat. Maksudnya,
seandainya ia bertaubat pada suatu waktu, sebelum datang sakratul maut dan ajal
tiba, niscaya taubatnya akan diterima. Dan itu tidak bertentangan dengan ayat.
Karena manusia mungkin ada yang datang keinginan taubatnya beberapa saat sebelum
sakratul maut atau ajalnya tiba, terhadap dosanya yang belum lama ia lakukan,
namun jarang ada orang yang bertaubat dari dosa yang telah ia lakukan semenjak
lama dan terus menerus, dan jikapun ia bertaubat dari macam dosa yang disebut
terakhir itu, maka jarang sekali orang seperti itu dapat memperbaiki apa yang
telah ia rusak, disebabkan dosa yang ia lakukan secara terus menerus itu. Sesuai
dengan firman Allah SWT: "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang
bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.
Kesimpulannya: Yang dimaksudkan adalah terus menerus melakukan dosa dan
menunda-nunda untuk bertaubat adalah berbahaya, meskipun taubat dari dosa
semacam itu masih dapat diterima jika dilakukan dalam waktu ikhtiar (sebelum
sakratul maut tiba), namun biasanya orang mati dalam keadaan sebagaimana ia
sehari-harinya, selama ini, oleh karena itu orang-orang yang tertipu dengan
menunda-nunda taubatnya hendaknya ia berhati-hati ]
Dalam musnad dan kitab lainya dari Ibnu
Umar dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama ia belum sekarat mati " .
Dalam naskah darraj dari Abi Sa'id
secara marfu' disebutkan:
"Sesungguhnya syaitan berkata: demi kemuliaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus berusaha menggoda hamba-hamba-Mu selama ruh mereka berada dalam tubuh mereka. Allah SWT berfirman: demi Kemuliaan-Ku, Keagungan-Ku dan Ketinggian kedudukan-Ku, Aku akan terus memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Ku selama mereka meminta ampunan kepada-Ku." [Hadits ini dha'if, karena ia merupakan riwayat Darraj, dan dia adalah dha'if, terutama riwayatnya dari Abi Haitsam.]
Ini adalaah orang yang bertaubat
secepatnya. Sedangkan orang yang bertaubat saat sekarat, dan ia berkata: saat
ini aku bertaubat! Maka taubatnya tidak dapat diterima. Karena itu adalah taubat
terpaksa bukan karena dorongan kesadararn diri. Ia adalah seperti taubat setelah
matahari terbit dari Barat, pada hari kiamat, dan ketika menemui
ajal.
Mereka berkata: karena hakikat taubat
adalah: mencegah diri dari mengerjakan sesuatu yang dilarang. Dan tindakan itu
dilakukan oleh orang yang mampu mengerjakannya,. Sedangkan orang yang tidak
mungkin mengerjakannya, adalah tidak masuk akal jika nafsu dicegah untuk
melakukan itu. Juga karena taubat adalah dengan membebaskan diri dari dosa, dan
orang yang memang tidak dapat lagi mengerjakan dosa itu, bagaimana mungkin ia
kemudian mencegah dirinya dari menjalankan dosa itu.
Mereka berkata: karena dosa adalah
keinginan kuat untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan, serta diikuti dengan
kemampuannya. Dan taubat darinya berarti: tekad yang kuat untuk meninggalkan
perbuatan dosa yang dapat ia kerjakan itu, dilanjutkan dengan meninggalkannya.
Sedangkan tekad untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia kerjakan adalah
mustahil. Karena tekad untuk meninggalkan perbuatan yang memang ia tidak mampu
mengerjakannya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, bukan tekad sesuatu yang
tidak mampu ia kerjakan. Itu tidak lebih dari semisal meninggalkan keinginan
terbang di udara, memindahkan gunung dan sebagainya.
Pendapat
kedua:
(pendapat yang benar) adalah taubatnya itu diterima, mungkin dan
dapat terjadi. Karena rukun-rukun taubat masih ada padanya. Yang dapat ia
lakukan dari perbuatan itu adalah penyesalan. Dalam musnad Ahmad secara marfu'
diriwayatkan hadits: "Penyesalan adalah taubat.
Maka jika ia telah menyesal atas
dosanya, serta mencela dirinya sendiri, itu adalah taubat. Mengapa kemudian hak
taubat itu diambil darinya, meskipun ia telah amat menyesal atas dosanya, dan
telah berulang kali menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi jika ia juga menangis,
sedih dan takut, serta bertekad kuat dan berniat jika ia sehat dan ia mempunyai
kemampuan untuk mengerjakan perbuatan dosa itu ia tidak akan
mengerjakannya.
Juga karena dalam syari'at, orang yang
tidak dapat melakukan ketaatan dikelompokkan dalam golongan orang yang
mengerjakan ketaatan itu, jika niatnya benar. Seperti dalam hadits
sahih:
"Jika seorang hamba sakit atau melakukan musafir, maka baginya ditulis pahala amal yang biasa ia lakukan saat sehat dan diam di rumah."
Dan dalam hadits sahih lainnya dari
Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya di Madinah adalah sekelompok orang yang jika kalian melakukan perjalanan dan menelusuri lembah ngarai niscaya mereka juga bersama kalian. Para sahabat bertanya: "Dan saat itu mereka berada di Madinah"?. Rasulullah Saw menjawab: mereka berada di Madinah, dan tidak dapat ikut bersama kalian semata karena mereka mempunyai uzur".
Banyak lagi terdapat hadits sejenis.
Maka meletakkan orang yang tidak dapat melakukan maksiat, yang meninggalkan
maksiat itu secara terpaksa (sambil ia berniat akan meninggalkan kemaksiatan itu
secara suka rela jika ia mempunyai kemampuan) pada posisi seperti orang yang
meninggalkan sesuatu kemaksiatan dengan pilihan dan tekadnya sendiri, adalah
lebih utama.
Ia menjelaskan: kemafsadatan dosa yang
diancam akan diberikan hukuman itu kadang timbul dari keinginannya, atau dari
mengerjakannya. Dan kemafsadatan itu tidak terdapat dalam orang yang tidak dapat
melakukan maksiat itu, baik tekad atau mengerjakannya langsung. Dan hukuman
adalah mengikuti mafsadat itu.
Jika orang ini tidak dapat melakukannya,
ia masih dapat menghayalkan dan menginginkannya. Dan di antara niatnya adalah:
Jika ia sehat ia akan melakukannya. Maka taubatnya itu adalah dengan
membersihkan dirinya dari keinginan dan khayalannya itu. Keinginan untuk terus
melakukan dosa itu masih terdapat dalam dirinya tentunya, kemudian ia
berkeinginan untuk melakukan yang sebaliknya, maka itu adalah taubatnya. Itu
baginya lebih mungkin dan dapat terjadi daripada berkeinginan untuk terus
menjalankan maksiat. Ini amat jelas.
Perbedaan antara orang seperti ini
dengan orang yang sedang menghadapi kematiannya serta orang yang sedang
menghadapi hari kiamat adalah: beban (taklif) telah terputuskan ketika datang
kematian dan saat hari kiamat datang. Sedangkan taubat itu masih dalam masa
taklif (beban). Dan orang yang lemah ini tidak terputus baginya taklif. Maka
perintah dan larangan masih melekat padanya. Mencegah berbuat dosa masih dapat
ia lakukan, daripada menginginkan dan merindukan kemaksiatan itu, serta menyesal
tidak dapat melakukannya. Kemudian ia mengganti semua itu dengan penyesalan dan
kesedihan karena ia telah melakukannya. Wallahu a'lam. [Madarij Salikin: 1 / 283
- 286
Tidak ada komentar:
Posting Komentar