Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat
(5)
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Di antara pertanyaan yang timbul dalam
topik ini adalah: "apakah istighfar bermanfaat bagi orang yang melakukannya,
jika ia tetap menjalankan dosa, yang besar maupun kecil?
Para ahli suluk berbeda pendapat dalam
masalah ini: Di antara mereka ada yang berpendapat: istighfar itu akan
bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia tidak mempunyai tekad untuk
bertaubat. Di antara mereka ada juga yang berkata: istighfarnya tersebut tidak
bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar bertaubat. Dan pihak yang lain
memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi masing-masing.
Aku adalah termasuk dalam kelompok yang
ketiga ini. Menurutku: istighfar yang hanya diucapkan dengan lidah saja
bermanfaat bagi orang yang beristighfar itu, jika diiringi dengan kesungguhan,
kekhusyu'an dalam berdo'a, memohon dengan sangat dan merasakan kebutuhan yang
amat besar akan maghfirah Allah SWT di waktu berikutnya. Ia meminta kepada Allah
SWT sebagai seorang hamba yang fakir, meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya,
dengan permintaan makhluk yang lemah kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa,
permohonan sosok yang kecil kepada Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya
mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya menyelimuti semua orang. Ketaatan manusia
tidak membuat-Nya untung, dan maksiat mereka tidak mengurangi kekuasaan Allah
SWT. Seorang hamba, jika ia beristighfar dengan semangat dan ruh seperti itu,
maka istighfarnya tidak akan sia-sia. Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai
berikut:
Pertama: seperti telah
diungkapkan dari al Qur'an dan hadits tentang keutamaan istighfar, ia
ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara mutlak tanpa pembatas, sehingga
mencakup orang yang masih tetap menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran lainnya,
maka mengapa kita kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil tidak terus
menjalankan maksiat?"
Kedua: istighfar
--meskipun hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang dapat menghapus keburukan,
apalagi jika disertai dengan permohonan yang sangat.
Imam Ghazali berkata: menurutku:
istighfar dengan lidah juga merupakan suatu kebaikan. Karena gerakan lidah
beristighfar lebih baik dari pada ia melakukan ghibah atau berkata-kata yang
tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih utama dari pada sekadar diam. Keutamaannya
itu akan tampak jika dibandingkan dengan diam itu. Namun ia akan nampak kurang
nilainya jika dibandingkan dengan amal hati. Oleh karena itu ada orang yang
berkata kepada syeikhnya, Abi Utsman al Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk
berdzikir dan membaca al Quran, namun hatiku lalai! Mendengar hal itu ia
berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT, karena Dia menggerakan salah satu
anggota badanmu untuk melakukan kebaikan, teruskanlah lidahmu untuk berdzikir,
jangan gunakan untuk keburukan , atau berkata yang tidak berguna! [Ihya
Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji
--dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal
seorang, dan balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. Seperti firman Allah
SWT:
"Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]"Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS. az-Zilzalah: 7]"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS. an-Nisa: 40]
Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan istighfar --seperti telah kami
katakan-- adalah amal, dan secara inheren ia adalah amal yang
baik.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi dalam Asy-Sya'b dari Ibnu Abbas secara marfu':
"orang yang beristighfar dari dosanya --sementara ia masih terus melakukan dosa
tersebut-- adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if.
Dan yang rajihnya ia adalah hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi
[Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas dan
lafazhnya adalah:
"Orang yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak berdosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus melakukan dosa itu adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya." Ia berkata: yang rajih adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang beristifghfar) ...dan seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama dari hadits itu adalah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadits Ibnu Mas'ud dan sanadnya adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]
Meskipun seandainya kita terima
keberadaan hadit itu, maka ia dapat dipahami sebagai ucapan istighfar yang
dilafalkan sebagai suatu kebiasaan saja, sambil memikirkan yang lain, serta
tidak memahami maknanya, dan tidak pula dengan merajuk dan
menangis.
Seperti itu pula perkataan sebagian
orang yang mengatakan: istighfar tanpa meninggalkan diri dari dosa adalah taubat
orang-orang pembohong! Dan perkataan yang lain: aku ber istighfar kepada Allah
SWT dari istighfarku! Ini dapat dipahami bahwa istighfarnya itu semata dengan
ucapan lidahnya saja, tanpa diiringi dengan gerakan hati yang merupakan rekan
dalam amal itu.
Sedangkan perkataan Rabi'ah al Adawiah:
istighfar kita butuh kepada istighfar lagi yang banyak! Jangan disangka bahwa ia
mencela gerakan lidah yang sedang berdzikir kepada Allah SWT. Namun ia mencela
hati yang lalai. Dan kelalaian hati seperti itu butuh kepada istighfar lagi dari
kelalaian itu sendiri, bukan dari gerakan lidahnya. Dengan demikian, orang yang
berdiam saja, tidak ber istighfar dengan lidahnya, dengan demikian membutuhkan
dua macam istighfar, bukan hanya satu istighfar!
Seperti inilah seharusnya dipahami
pujian orang yang memuji dan celaan orang yang mencela. Jika tidak maka ia
berarti tidak memahami perkataan ini: "kebaikan orang-orang biasa adalah
keburukan kaum muqarrabin! Karena ini adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak
dapat dipahami secara sederhana. Oleh karenanya tidak selayaknya kita menganggap
ringan ketaatan dan perbuatan buruk yang amat kecil sekalipun.
Imam Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah
SWT menyembunyikan tiga hal dari tiga hal.
-
Menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya, oleh karena itu janganlah engkau cela ketaatan itu sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak ridha Allah SWT.
-
Menyembunyikan kemarahan-Nya dari kemaksiatan terhadap-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap ringan suatu kemaksiatan sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak kemarahan-Nya. Dan
-
Dia menyembunyikan wali-Nya dari sekalian hamba-hamba-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap rendah seorang hamba Allah SWT , karena barangkali dia adalah wali Allah.
Sahl bin Abdullah (at Tustary) berkata:
seorang hamba dalam segala keadaan pasti membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu
ia harus memperbaiki keadaannya, yaitu dengan selalu mengembalikan kepada-Nya
segala sesuatu yang diputuskan dan ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat
kepada Allah SWT, hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku
itu". Dan jika ia telah membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia
berkata: "wahai Rabbku ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan taubat
hendaknlah ia berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan dari melakukan
kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan hendaklah ia berkata:
"wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya
Ulumuddin: janganlah engkau menghina ketaatan sekecil apapun hingga membuat
engkau tidak mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat
engkau tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal
benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan
ia berkata: apa manfaatnya satu benang itu? dan kapan akan dapat menghasilkan
satu baju? Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari
satu-benang dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini di susun dari
atom-atom kecil, maka berdo'a dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah
kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya Ulumuddin, Kitab
Taubat, dikutip dengan ringkas.]
Disebutkan dalam kitab al Adzkaar dari
Rabi' bin Khaitsam ia berkata: jangan engkau katakan: aku beristighfar kepada
Allah SWT dan aku bertaubat kepadaNya". Karena itu dapat menjadi dosa jika ia
tidak benar-benar menjalankannya. Namun katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah daku
dan berilah hamba taubat". An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan ia tidak
senang mengatakan "aku ber istighfar kepada Allah SWT " dan ia menamakannya
sebagai kebohongan, an Nawawi tidak setuju dengan itu. Karena makna
"astaghfirullah" adalah aku memohon ampunan-Nya, dan itu bukanlah kebohongan. Ia
berkata: untuk menolak pendapat itu cukup dengan hadits Ibnu Mas'ud dengan
lafazh:
"Barangsiapa yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur (makhluk-Nya) dan aku bertaubat kepadanya: niscaya diampunkan segenap dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan diri dari medan perang". Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmizi serta disahihkan oleh Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar berkata: ini adalah dalam lafazh "Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya) sedangkan kata "aku bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan oleh Rabi' bahwa itu adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan taubat namun ia tidak menjalankan taubat itu".
Dalam berdalil dengan menggunakan hadits
Ibnu Mas'ud itu patut diteliti kembali, karena dapat saja yang dimaksudkan
adalah: jika ia mengatakan taubat dan mengerjakan syarat-syarat taubat itu. Dan
dapat pula Rabi' ingin menggabungkan dua lafazh, tidak sekadar kata
"astaghfirullah" sehingga seluruh perkataannya adalah benar. Wallahu
a'lam.
Al Hafizh berkata: aku membaca dalam al
Halabiat karya Taqiyyuddin as-Subki sebagai berikut: istighfar adalah meminta
ampunan, baik dengan lidah, atau dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan
yang pertama itu akan mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar
diam, dan ia dapat dimasukkan sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat baik
sekali, dan yang ketiga lebih baik lagi. Namun keduanya itu tidak menghapus dosa
hingga terdapat taubat yang sebenarnya. Karena orang yang berbuat maksiat dan
tidak juga meninggalkannya itu meminta diampuni, dan itu tidak harus ada taubat
dalam dirinya. Hingga ia berkata: yang aku katakan bahwa makna istighfar adalah
berlainan dengan makna taubat, adalah jika ditinjau berdasarkan redaksional.
Namun menurut banyak ulama, lafazh "astaghfirullah" itu maknanya adalah taubat.
Jika ada orang yang seperti itu keyakinannya, maka ia berarti menginginkan
taubat. Kemudian ia berkata: dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa taubat
tidak sempurna kecuali dengan istighfar, dengan dalil firman Allah
SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan menurut pendapat yang masyhur,
hal itu tidak disyaratkan. [Fathul Bari: 13/ 472]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar