Kasyf, Khurafat dari Shufi
Tingkatan atau derajat tinggi yang diklaim oleh orang shufi ada pula yang
mereka namakan kasyf (tersingkapnya tabir).
Kasyf,
menurut kaum shufi adalah melihat hal yang ghaib dan menyaksikannya dengan
tegas. Dengan demikian mereka mengaku atau meyakini, kalau sampai pada derajat
kasyf itu maka mereka dapat mengetahui hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang
tersembunyi, dan memecahkan segala soal-soal yang pelik. (lihat HSA Al-Hamdani,
Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Sufi, PT Al-Ma'arif
Bandung,
cet. kedua, 1972, hal. 16).
Di
antaranya ialah kepandaian membedakan hadits yang shahih dari yang dha'if
(lemah). Maksud tujuannya ialah memperkuat madzhab dan kepercayaannya dengan
hadits-hadits yang dibikin-bikin dan hadits-hadits yang dha'if, lalu dianggap
sebagai hadits shahih dengan perantaraan kasyf itu. (ibid, hal 16).
Orang-orang yang meyakini kasyf membantah ulama yang tidak mau menjadikan
lintasan-lintasan hati kaum shufi dan ilham-ilham mereka sebagai hujjah dalam
hukum Islam. Karena kaum shufi meyakini bahwa ilham-ilham, lintasan-lintasan
hati shufi, dan kasyfnya itu tidak mungkin akan salah. Hingga seorang pengarang
kitab Fawatihur rahamaut syarah musallamits tsubut di dalam ushul fiqh, dan dia
termasuk salah seorang yang memiliki kecenderungan shufi yang dhahir, menyanggah
Al-Allamah Ibnul Hammam Al-Hanafi, yang menafikan atau menolak ilham sama sekali
sebagai hujjah. Pengarang kitab Fawatih (yang shufi itu) mengatakan:
"Sesungguhnya ilham tidak akan terjadi kecuali disertai penciptaan ilmu
dharuri (ilmu yang ada dengan sendirinya) yang datang dari sisi Allah SWT, atau
dari ruh Muhammady (ruh Nabi Muhammad). Maka pada saat itu tidak akan ada
keraguan yang timbul akibat adanya kesalahan padanya (ilham). Ilmu seperti ini
derajatnya lebih tinggi dibanding ilmu yang dihasilkan dengan dalil-dalil yang
tidak qoth'i (tidak pasti). Maka aneh sekali, seorang syeikh seperti Al-Allamah
Ibnul Hammam Al Hanafy menolak salah satu bejana ilmu. Barangkali beliau
beranggapan bahwasanya ilham itu adalah sesuatu yang terjadi di dalam hati yang
berasal dari
lintasan-lintasan hati, padahal bukan demikian. Apakah kamu belum
mendengar atau mengetahui apa yang telah ditulis oleh Syaikh Quthbu Waqtihi
(wali quthub pada zamannya) yaitu Abu Yazid Al-Bustamy -semoga Allah mensucikan
kerahasiaannya yang mulia- terhadap sebagian ahli hadits: 'Kamu mengambil ilmu
dari yang telah menjadi mayit, kemudian kalian kaitkan kepada Rasulullah saw,
sedangkan kami mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan Tidak
Pernah
Akan Mati (Allah)!' (kitab Fawatihur Rahamaut, dicetak menjadi satu dengan kitab
Al Mustashfa karya Imam Ghazaly: 2/372, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawy
dalam Mawaqiful Islam minal Ilham wal Kasyf..... diterjemahkan menjadi Sifat
Islam terhadap Ilham, Kasyf, Mimpi, Jimat, Perdukunan, dan Jampi, Bina Tsaqafah
Jakarta, cet I, 1417H/ 1997, hal 79-80).
Kemudian
Dr Yusuf Al-Qardhawi menukil bantahan dari Ibnu Taimiyah terhadap klaim ilham
dan kasyf yang dianggap ma'shum (terjaga dari kesalahan) itu sebagai
berikut:
"Umat ini
tidak membutuhkan kepada muhaddatsun dan mulhamun disebabkan telah sempurnanya
risalah nabi umat ini dan telah sempurnanya syari'at beliau saw. Oleh karena itu
bentuk lafadz (shighoh) hadits tersebut:
“Fain
yakun fii ummatii ahadun fa 'umar”
"Jika ada
di antara umatku seseorang (seperti mereka) maka Umar-lah orangnya."
Sedangkan
apa yang disebutkan oleh pengarang kitab Al Fawatih merupakan pendapat subyektif
dan tidak ilmiah, dan semata-mata merupakan klaim-klaim yang menyimpang tanpa
ada buktinya. Dia telah mencampur adukkan di dalam nama-nama yang telah dia
kumpulkan itu, antara orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang cerdas,
antara ahlus sunnah dan ahli bid'ah, antara orang yang bertauhid dan orang yang
berfaham hululi (kepercayaan bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk) serta
ittihady (kepercayaan bahwa dunia dan seisinya adalah Tuhan). Dan yang lebih
mengherankan mengapa hal seperti ini ditulis dalam ilmu ushul (fiqh), padahal
ilmu ushul merupakan timbangan akal dan logika manqul (penalaran yang masuk akal
dan berdasarkan dalil-dalil naqli)!
Apa yang
dikatakan oleh pengarang kitab Al-Fawatih ini dan orang-orang yang seperti dia,
mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum syi'ah tentang imam-imam mereka,
padahal perkataan seperti ini amat sangat diingkari oleh ahlus
sunnah.
Pendapat
kaum syi'ah itsna 'asyariyah telah sampai kepada puncaknya dengan menyatakan
kema'shuman ilham para imam mereka yang dua belas. Maka, apa saja yang
diilhamkan kepada mereka (para imam yang 12) tidak mungkin akan berlaku padanya
kemungkinan salah, karena apa yang diilhamkan kepada mereka bukan tumbuh dari
hasil ijtihad, seperti hasil ijtihadnya para imam madzhab fiqh, yang kemungkinan
benar dan kemungkinan salah, sehingga yang benar diberikan pahala dengan dua
pahala, dan yang salah diberi satu pahala. Sesungguhnya ilham mereka adalah
ilham yang datang dari Allah untuk seorang imam, dimana Allah akan menyingkapkan
baginya dengan ilham tersebut perkara yang gaib bagi orang lain, dan ilham
tersebut pasti benar, baik berupa kabar ataupun hukum. Jika berupa kabar maka
pasti benar dan jika berupa hukum maka pasti adil dan tidak perlu dibantah
lagi!
Dengan
keyakinan seperti ini mereka pada hakekatnya telah menetapkan sifat 'Isham (suci
dari kesalahan) kepada selain Rasulullah saw dan juga berarti telah mewajibkan
ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya, yang mana keyakinan demikian tentu
bertolak belakang dengan apa yang telah diputuskan oleh hukum-hukum yang sudah jelas (muhkamat) di dalam
al-Quranul Karim, dan penjelasan-penjelasan hadits yang mulia.
Kemudian
Ibnu Taimiyah seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi menegaskan bahwa tidak ada
yang suci dari kesalahan (Ishmah) selain Al-Quran dan As-Sunnah. Penjelasannya
sebagai berikut:
Di antara
kewajiban yang mesti kami putuskan di sini dengan sejelas-jelasnya dan
seyakin-yakinnya, yang tidak tercampuri oleh keraguan adalah: Bahwasanya tidak
ada yang suci dari kesalahan ('ishmah) selain sesuatu yang telah Allah dan
Rasul-Nya tetapkan. Dan setiap orang setelah itu perkataannya (pendapatnya) bisa
diambil (diterima) dan bisa ditolak. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan
kepada kita untuk merujuk kepada kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya dalam rangka
mengetahui hukum-hukum syari'at-Nya. Allah swt berfirman:
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya." (QS 7:3).
Dan Allah
berfirman: "Katakanlah" 'Taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul..." (QS 24:54).
Dan Allah
berfirman: "Dan jika kamu taat kepadanya (Rasul), niscaya
kamu pasti akan mendapat petunjuk..." (QS 24:54).
Dan Allah
berfirman: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS
59:7).
Dan Allah
berfrman: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (QS
24:63).
Dan Allah
berfirman: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya
(Sunnahnya)." (QS 4:59).
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah seperti dikutip Al-Qardhawi menegaskan: Dan
Allah swt tidak memerintahkan kepada kita untuk merujuk (kembali) kepada
hati-hati kita, atau perasaan batin kita (dzauq), atau kepada lintasan-lintasan
hati kita, serta perkara gaib yang tersingkap bagi kita. Karena sesuatu yang
berasal dari hal demikian itu tidak ada jaminan suci dari kesalahan baginya,
karena suatu saat bisa benar dan pada saat yang lain bisa salah.
Syaikh
Abul Hasan Asy Syadzily mengatakan:
"Sungguh
telah ada bagi kita jaminan 'ishmah (suci dari kesalahan) dalam hal yang datang
dari Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Snnah, dan tidak ada bagi kita jaminan 'ishmah
(suci dari kesalahan) dalam hal kasyf dan ilham." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menukil dari Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili di dalam fatwa-fatwanya (Al-Hikam),
Majmu'ul Fatawa: 2/91, dikutip oleh Dr Yusuf Al-Qardhawy, Sikap Islam terhadap
Ilham, Kasyf... hal 82-84).
Tentang
keyakinan shufi mengenai kasyf itu di antaranya dijelaskan oleh Ibnu 'Arabi
dalam kitab Futuhatnya dan Al-Jili dalam Insanul Kamil-nya. Sedangkan al-Ghazali
sendiri telah mengakui bahwa ia tidak memperoleh keyakinan sesudah dihinggapi
syak dan kesangsian kecuali dengan perantaraan kasyf. Yaitu setelah ia
beri'tikaf beberapa tahun di menara Masjid Damaskus dan di Masjid Baitul Maqdis.
(Lihat kitab Al-Ghazali, Al-Munqidzu minaddholaal, dan Al-lamus Syamikh hal.
370, dan Akhlaq, hal. 42, seperti dikutip HSA Al-Hamdani dalam Sanggahan
terhadap tashawuf... hal 16).
Kasyf
Syaithani dan Kasyf Haqiqi
Sorotan
yang tajam terhadap batilnya kasyf ini juga ditulis oleh Al Allamah Muhammad
Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar. Dr Yusuf Al-Qardhawi mengutipnya sebagai
berikut:
Bahwa
ilham atau kasyf semata-mata merupakan salah satu contoh dari pengetahuan jiwa
yang berbicara, tidak tetap (baku) dan tidak teratur. Dan bukan merupakan
pengetahuan yang berlandaskan kepada akal dan tidak pula bersandarkan kepada
dalil syar'i, akan tetapi cuma merupakan pengetahuan yang kurang, yang terkadang
salah terkadang benar, dan sebab-sebabnya yang alamiah pun mudah untuk
diketahui. Sebagian ada yang bersifat bawaan (fithry), sebagian ada yang
diperoleh dengan usaha (kasby) dan sebagian lagi hasil ciptaan (shina'i),
seperti hipnotis yang dikenal di abad ini, dan apa yang mereka namakan dengan
membaca fikiran, komunikasi fikiran, dan yang mereka serupakan dengan transfer
berita lewat kawat listrik maupun transfer berita tanpa kawat
listrik.
Pengetahuan seperti ini tentu bisa dikuasai oleh orang mu'min maupun
orang kafir, orang yang baik maupun orang yang jahat, sebagaimana diakui oleh
para shufi muslim bahwa pengetahuan semacam ini dikuasai pula oleh shufi
beragama hindu. Para shufi muslim mengakui bahwa pengetahuan yang dikuasai oleh
mereka bercampur aduk dengan pengelabuan syetan, dan sedikit sekali orang yang
mempunyai kemampuan untuk membedakan antara kasyf syaithani (kasyf yang berasal
dari syetan) dan kasyf haqiqi (sesungguhnya), dan tidaklah boleh dinamakan kasyf
haqiqi kecuali jika bersesuaian dengan nash yang qoth'i (nash/ teks ayat atau
hadits yang pasti).
Di antara
berbagai bukti kesalahan dan kepalsuan serta khayalan yang ada pada kasyf
mereka, yang biasa mereka namakan dengan An-Nurany (yang berkilauan), dan apa
yang mereka sebutkan di dalam kasyf mereka berupa pengetahuan mereka yang
bermacam-macam, berdasarkan keberagaman pengetahuan mereka tentang seni,
kekhurafatan dan syari'ah adalah terjadinya pertentangan para ahlinya dan
saling salah menyalahkan satu sama lain dalam hal ini. Oleh karena itu, anda
akan mengetahui sebagian dari mereka menyebutkan di dalam kasyfnya Jabal Qof
(gunung qof) yang mengelilingi bumi!
Dan Al
hayyah (ular) yang mengelilinginya! Sebagaimana dapat anda ketahui dalam
biografi Asy Sya'rani oleh Syaikh Abu Madyan, yang isinya merupakan
kekhurafatan-kekhurafatan yang tidak ada hakekatnya.
Di antara
mereka ada pula yang menyebutkan di dalam kasyfnya bintang-bintang dan tempat
peredarannya dengan cara Yunani yang batil. Dan kebanyakan mereka menyebutkan di
dalam ksyf mereka hadits-hadits yang maudhu' (palsu), walaupun mereka dan
orang-orang yang terfitnah dengan kasyf mereka ditentang oleh ulama
hadits.
Mereka mengatakan: 'Sesungguhnya sebuah hadits terkadang dianggap shahih dalam
kasyf kami, walaupun hadits tersebut tidak shahih menurut riwayat-riwayat kalian
(ahli hadits), dan kasyf kamilah yang lebih benar, karena kasyf kami berasal
dari ilmul yaqin sedangkan ilmu kalian berasal dari dugaan (dhon)!'
Kesimpulannya adalah, bahwa kasyf ini adalah urusannya sendiri dan urusan
para ahlinya, jika sah bagi kita untuk membenarkannya tentu ketika tidak terjadi
pertentangan dengan syari'at, aqidah-aqidahnya serta hukum-hukumnya. Maka tidak
dibenarkan bagi orang yang beriman kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya
membenarkan sebagian dari kasyf yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Quran
dan
Sunnah. Dan tidak dibenarkan pula menetapkan kasyf dengan didasari perintah dari
alam gaib selama tidak ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. lagi pula kita tidak
membutuhkan semua ini (kasyf seperti ini). (Tafsir Al-Manar oleh Al Allamah
Muhammad Rasyid Ridha, Jilid 11/447, cetakan keempat, seperti dikutip Dr Yusuf
Al-Qardhawi, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf... hal. 86-87).
Penjelasan-penjelasan tersebut sangat gamblang bahwa kasyf shufi itu
batil. Orang mu'min maupun kafir bisa memperolehnya, orang jahat maupun shalih
dapat juga, sebagaimana hasil kasyf itu ada yang dari syaitan, dan ada yang
mengandung kebenaran, tidak ada patokannya. Maka ketika ungkapan semacam ini
saya ajukan
kepada
guru besar tasawwuf dengan ungkapan bahwa Joyoboyo yang bukan Islam pun bisa
mendapatkan kasyf itu; ternyata Pak Guru Besar Tasawwuf itu marah, dan tidak ada
jawaban pasti, seperti sudah kami kemukakan di atas. Masihkah mereka mau
mengklaim kebenaran kasyf dengan cara lain lagi selain marah-marah dan
bicara ngaco (tidak
teratur)?
Dan dari
sinilah bisa kita fahami, kenapa orang-orang Syi'ah, sekluer, dan pengacau Islam
kini justru ramai-ramai menjajakan tasawwuf. Ternyata, dalam hal kepercayaan/
aqidah maupun sikap mereka terhadap hadits adalah sama-sama, yaitu mengacaukan.
Hingga ketatnya aqidah dalam Islam ini jelas-jelas mereka tabrak, sedang
ketatnya pembatasan tentang keshahihan hadits pun terang-terang mereka tabrak
pula. Bila aqidah, suatu fondasi tempat berdirinya Islam, telah mereka kacaukan,
dan hadits sebagai landasan utama yang kedua setelah Al-Quran telah mereka
halalkan untuk dipalsukan dengan cara mengklaim ke-kasyf-an untuk menshahihkan
kepalsuan, maka hancurlah Islam ini. Masih pula ditambahi dengan tabiat shufi
yang tunduk patuh bahkan sering mendukung kepada penguasa dhalim --walaupun
menghancurkan Islam-- maka sempurnalah konspirasi dan konvigurasi mereka (shufi,
syi'ah, sekluer, munafiqin, kafirin, musyrikin, pengacau agama, dukun,
paranormal, ahli bid'ah, politikus licik anti Islam, dan penguasa dhalim) dalam
menghancurkan Islam dengan wajah yang pura-pura teduh karena berkedok main
batin. Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku Ummat Islam, jangan sampai
tertipu oleh permainan mereka yang sudah dibabat oleh para ulama pada awal abad
keempat Hijriyah dengan dibunuh dan disalibnya dedengkot shufi bernama
Al-Hallaj, namun kemudian digali dan dihidup-hidupkan lagi oleh para orientalis
Barat antek penjajah anti Islam, kemudian dikembangkan lagi oleh antek-antek
orientalis di mana-mana sampai kini lewat aneka sarana. Mudah-mudahan Allah
memberi kekuatan kepada para pengamal Islam dan penyerunya yang setia dan
istiqomah hingga mampu menghancurkan kebatilan mereka yang mengancam Islam itu.
Amien.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar