Memahami Iyyaka Na'budu wa Iyyaka
Nasta'in
|
(Membantah Penjaja
Kesesatan Tasawuf)
"Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan."
(Al-Fatihah: 6).
Dalam Tafsir Tanwirul
Miqbas min Tafsiir Ibn Abbas dijelaskan, iyyaaka na'budu maksudnya:
kepadaMu-lah kami mentauhidkan dan kepadaMu-lah kami mentaati. Waiyyaka
nasta'iin kami minta tolong padaMu untuk beribadah padaMu, dan kapadaMu-lah
kami minta keteguhan untuk taat padaMu. (Tanwiirul Miqbas, hal 2).
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan, Iyyaaka na'budu itu berlepas diri dari kemusyrikan, waiyyaaka
nasta'iin berlepas diri dari daya dan kekuatan; dan pemberian kekuasaan
kepada Allah (at-tafwiidh ilallaah) Azza wa Jalla. Makna ini ada pada ayat
lain dalam Al-Qur'an sebagaimana Allah SWT berfirman:
"...maka sembahlah
Dia, dan bertawakkallah kepadaNya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari
apa yang kamu kerjakan". (QS Huud/ 11:123).
"Katakanlah: "Dia-lah
Allah Yang Maha Penyayang, kami beri man kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami
bertawakkal." (Al-Mulk/ 67: 29).
"Dia-lah Tuhan masyriq
dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah
Dia sebagai pelindung." (QS Al-Muzzammil/ 73:9).
Demikian pula ayat
yang mulia ini:
"Hanya kepada Engkaulah
kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." {Al-Fatihah:
6). (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal 36).
Dalam Tafsir Al-Qayyim
dijelaskan, didahulukannya ibadah atas isti'anah (minta tolong) dalam surat
Al-Fatihah itu termasuk dalam bab mendahulukan ghooyaat (tujuan) atas
wasaail (sarana).
Karena, ibadah itu
adalah tujuan hamba-hamba yang (memang) diciptakan untuknya. Sedang isti'anah
(minta tolong) itu adalah wasilah (sarana) untuk ibadah. (Tafsir Al-Qayyim,
lil Imam Ibnul Qayyim, Darul Fikr, 1988/ 1408H, hal 66).
Dalam Tafsir Quran
Karim Prof Dr H Mahmud Yunus mengartikan, "Hanya Engkaulah (ya Allah) yang
kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan."
Selanjutnya dijelaskan, "Karena Allah amat banyak memberi kita
bermacam-macam ni'mat, maka wajiblah kita menyembahNya. Dan tiada yang
disembah selain daripadaNya. Wajiblah kita minta tolong kepada Allah,
untuk menyampaikan cita-cita kita dan mensukseskan amalan
perbuatan
kita, karena Dia yang
berkuasa menghilangkan segala aral yang melintangi.
Adapun minta tolong
sesama manusia dalam batas kemampuannya, seperti minta obat ke dokter, maka
tiadalah terlarang, bahkan dianjurkan bertolong-tolongan itu. Tetapi jika kita
minta tolong kepada manusia di luar batas kemampuannya, seperti minta masuk
surga, murah rezeki, berbahagia di dunia akhirat dsb, maka yang demikian itu
amat terlarang dalam Islam. Begitu juga meminta kepada batu-batu, kayu-kayu,
kubur-kubur dan sebagainya, karena pekerjaan ini mempersekutukan Allah dengan
lain-Nya." (Prof Dr H Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, PT Hidakarya Agung
Jakarta, cet 27, 1988/ 1409H, hal 1).
Syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu dalam Minhajul Firqoh An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh
membahas makna iyyaka na'budu waiyyaka nasta'in dalam satu fasal tersendiri.
Dia jelaskan, ayat itu maksudnya, kami mengkhususkan hanya kepadaMu dalam
beribadah, berdo'a, dan memohon pertolongan.
Dia jelaskan,
didahulukannya obyek (maf'ul bih) iyyaaka atas subyek na'budu dimaksudkan agar
ibadah dan memohon pertolongan itu hanya kepada Allah saja, tidak kepada
lainnya.
Ibadah yang dimaksud
adalah ibadah dalam arti luas, termasuk shalat, nadzar, menyembelih kurban,
juga do'a. Karena Rasulullah SAW bersabda: Ad-Du'aau huwal 'ibaadah. Do'a
adalah ibadah. (HR At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).
Sebagaimana shalat
adalah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada rasul atau wali, demikian
pula halnya dengan do'a. Ia adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada
Allah saja. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah,
'Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan akutidak mempersekutukan suatu
apapun denganNya.'" (QS Al-Jin: 20).
Tentang memohon
pertolongan yang disyari'atkan Allah adalah dengan hanya memintanya kepada
Allah agar Ia melepaskanmu dari berbagai kesulitan yang engkau
hadapi.
Adapun memohon
pertolongan yang tergolong syirik adalah dengan memintanya kepada selain
Allah. Misalnya kepada para nabi dan wali yang telah meninggal atau kepada
orang yang masih hidup tetapi tidak dalam keadaan hadir. Mereka itu
tidak memiliki manfaat atau madharat, tidak mendengar do'a, dan kalaupun
mereka mendengar tentu tak akan mengabulkan permohonan kita. Demikian seperti
dikisahkan oleh Al-Qur'an tentang mereka. (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu,
Jalan Golongan yang Selamat Darul Haq, Jakarta, 1419H, hal 28-31).
Adakah pertentangan
makna?
Ayat tersebut
menegaskan, hanya kepada Allah lah kami minta pertolongan. Namun di ayat lain
kita disuruh bertolong-tolongan.
"Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa." (QS
Al-Maaidah: 2).
Adakah pertentangan
antara keduanya?
Tidak.
Dalam Al-Qur'an dan
Tafsirnya dijelaskan:
Tercapainya sesuatu
maksud, atau terlaksananya sesuatu pekerjaan dengan baik adalah bergantung
kepada cukupnya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan
itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang akan menghalanginya.
Manusia telah diberi
oleh Allah tenaga, baik yang berupa fikiran, maupun yang berupa kekuatan
tubuh, untuk dipakai guna mencukupkan syarat-syarat, atau menolak
rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan.
Tetapi ada di antara syarat-syarat itu yang tidak kuasa menusia mencukupkannya,
sebagaimana di antara rintangan itu ada yang di luar kekuasaan manusia untuk
menolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara
halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui. Maka kendatipun menurut
fikirannya dia telah mencukupkan semua syarat-syarat yang diperlukan, dan
telah menjauhkan semua rintangan-rintangan yang menghalangi, tetapi hasil
pekerjaannya itu belum lagi sebagai yang dicita-citakannya. Jadi ada hal-hal
yang tidak masuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang
dimintakan pertolongan khusus kepada Allah.
Sebaliknya tentang
sesuatu yang termasuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia, dia
disuruh bertolong-tolongan, supaya tenaga menjadi kuat, dan agar ada pada
masing-masing manusia sifat cinta mencintai, harga menghargai, dan gotong
royong.
Dengan perkataan
lain, manusia disuruh oleh Allah berusaha dengan sekuat tenaganya, dan
disuruh tolong menolong, bantu membantu, di samping menjalankan ikhtiar dan
usaha-usahanya itu, dia harus pula berdo'a, memohon taufiq, hidayat, dan
ma'unah (pertolongan, pen). Ini hendaklah dimohonkannya khusus kepada Allah,
karena hanyalah Dia Yang berkuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah ia
bertawakkal kepadaNya.
Ibadat itu sendiri pun
adalah sesuatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma'unah
(pertolongan, pen) dari Allah, supaya semua ibadat terlaksana sebagai yang
dimaksud oleh agama. Maka seseorang menuturkan bahwa hanya kepada Allah lah
kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepadaNya saja meminta
pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana
mestinya. Ayat di atas, sebagai telah disebutkan, mengandung tauhid,
karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma'unah khusus
kepadaNya, adalah inti sari agama, dan kesempurnaan Tauhid. (Al-Qur'an dan
Tafsirnya, Depag RI, I, hal 28-29).
Upaya menghancurkan
Tauhid
Dari berbagai sumber
tersebut telah jelas bahwa ayat iyyaaka
na'budu wa iyyaaka
nasta'iin itu adalah intisari agama dan sempurnanya Tauhid. Namun ada
upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai landasan kemusyrikan. Contohnya,
Nurcholish Madjid dengan pengakuan merujuk pada penafsiran tasawuf ia menulis:
"Kalau kita baru sampai pada iyyaka na'budu berarti kita masih mengklaim diri
kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaka nasta'in, maka
kita lebur. Menyatu dengan Tuhan." (Tabloid Tekad 44/II, 4-10 September 2000,
hal 11).
Dilihat dari segi
penafsiran, Nurcholish Madjid jelas telah jauh berbeda dengan apa yang
dikemukakan Ibnul Qoyyim. Menurut Ibnul Qoyyim, ulama terkemuka kaliber
dunia (691-751H), lafal nasta'iin itu adalah wasilah (sarana) sedang na'budu
itu adalah ghoyah (tujuan). Karena makhluk --jin dan manusia-- ini memang
diciptakannya hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Sedang penafsiran
Nurcholish Madjid ("Kalau kita baru sampai pada iyyaka na'budu berarti kita
masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa
iyyaka nasta'in, maka kita lebur.
Menyatu dengan Tuhan.")
itu jelas-jelas berlawanan dengan penafsiran Ibnul Qoyyim. Nasta'in yang
menurut Ibnul Qoyyim adalah wasilah (sarana), namun oleh Nurcholish diletakkan
sebagai ghoyah (tujuan) dan diartikan menurut ghoyah faham tasawuf sesat yaitu
al-hulul wal ittihad, lebur dan menyatu dengan Tuhan. Ini dari segi materi
sudah terbalik-balik, sedang dari segi pemahaman sudah sangat menyimpang.
Padahal tokoh sufi sesat, Al-Hallaj, yang berfaham al-hulul wal ittihad itu
telah dihukumi kafir oleh para ulama dan dihukum bunuh di Baghdad 309H/ 922M.
(Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah Jakarta, 2000,hal
28).
Betapa berbahayanya
menafsiri ayat Al-Qur'an (apalagi ayat yang merupakan intisari agama dan
sempurnanya Tauhid) dengan sekenanya, dan berlawanan dengan kaidah-kaidah ilmu
agama seperti itu. Dan masih pula betapa rusaknya mengubah pemahaman
ayat Tauhid menjadi faham hulul dan ittihad (melebur dan menyatu dengan
Tuhan) yang mewarisi pemahaman tasawuf sesat itu.
Anehnya, faham tasawuf
yang ghoyahnya (arah tujuannya) sangat berbeda dengan Islam itu kini
digencarkan oleh orang-orang tertentu dan kelompok-kelompok tertentu
secara intensip sekali di antaranya di Yayasan Iiman, Paramadina, televisi
Anteve , Yayasan Sehati yang ditokohi Jalaluddin Rachmat dll. Ini merupakan
PR (pekerjaan rumah) yang diderakan terhadap Muslimin, di samping PR-PR lain
yang merugikan dan bahkan merusak dan menyesatkan.
Persoalan kedua,
tulisan Nurcholish Madjid di Tekad No 44, 4-10 September 2000, hal 11 itu ada
yang bunyinya: "Perlu diberi catatan di sini mengenai sifat sombong
(al-mutakabbir) Allah dalam asmaul husna, yang kita malah
diperintah menirunya.
Memang kita harus punya juga sifat sombong, tapi porsinya tidak besar, hanya
sampai pada tingkat kita punya harga diri."
Tulisan NM itu
bertentangan sama sekali dengan ayat-ayat maupun hadits. Di antaranya firman
Allah:
"Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong."(An-Nahl/ 16: 23).
Rasulullah SAW
bersabda:
"Laa yadkhulul jannata
man kaan fii qolbihi mitsqoola dzarrotin min kibrin."
"Tidak akan masuk surga
orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekalipun seberat dzarroh (atom)."
(HR Muslim).
Rasulullah SAW
bersabda:
"Neraka berkata: 'Aku
dipentingkan karena untuk orang-orang yang sombong'." (HR Al-Bukhari dan
Muslim).
Demikianlah, bisa
kita bandingkan antara ajaran NM dengan ajaran Allah dan
Rasul-Nya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar