Manhaj Shahih dan Penyelewengan
Aqidah
Tidak diragukan, Islam adalah agama yang haq dari Allah, dan
sumbernya jelas berupa wahyu yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk
mengetahui bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang benar, maka perlu diketahui
kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber Islam dan cara menggunakan atau
mencari dalil yang benar.
Berikut ini penjelasan singkat tentang kaidah-kaidah pokok
mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah Islam dan pengambilan dalil menurut Dr
Nashir Abdul Karim Al-Aql.
1. Sumber aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur’anul Karim),
Sunnah Rasul-Nya saw yang shahih, dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi
terdahulu yang baik).
2. Setiap Sunnah Rasul saw yang shahih wajib diterima,
walaupun sifatnya hadits ahad (setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai
jumlah mutawatir, sekalipun 3 orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap jenjang
diriwayatkan oleh banyak orang).
3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah
adalah nash-nash penjelas (teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan
maksud-maksud ayat atau hadits). Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus
shalih, dan pemahaman imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus
shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak
dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata
kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.
4. Dasar-dasar agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw,
maka tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan
anggapan bahwa itu termasuk dalam agama.
5. Pasrah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw (dalam hal
penetapan Islam ini) secara lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk
mempertentangkan satu hal pun dari Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang shahih
(baik mempertentangkannya itu) dengan qiyas, ataupun dengan perasaan,
kasyf (klaim tersingkapnya hijab/ tabir hingga melihat yang batin/
ghaib), ucapan syaikh, pendapat imam dan sebagainya.
6. Akal yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql
(ayat ataupun hadits) yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan
selamanya. Dan ketika terjadi kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah
naql (ayat ataupun hadits).
7. Wajib memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan
menjauhi lafal-lafal bid’ah (bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang
mujmal (garis besar/ global) yang mengandung kemungkinan benar dan salah
maka ditafsirkan dari makna (lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka
ditetapkanlah dengan lafal kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka
ditolak.
8. Al-’Ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) itu
tetap bagi Rasul saw, sedang ummat ini terjaga tidak akan bersepakat atas
kesesatan. Adapun orang perorangnya maka tidak ada ‘ishmah
(keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun dari ummat Islam ini. Sedang
hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para imam dan lainnya maka tempat
kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah; kemudian mujtahid ummat yang
bersalah agar meminta ampun.
9. Di kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang
mendapatkan bisikan ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan
ilham), dan mimpi yang benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari
nubuwwah (kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini
semua adalah karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar
gembira) --dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah
merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.
10. Bertengkar dalam agama itu tercela, tetapi
berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah (disyari’atkan).
Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam pembicaraan panjang
tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib mencegah diri dari
menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang tidak ada ilmu bagi
seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan
Allah SWT) maka menyerahkan hal itu kepada Allah SWT.
11. Wajib memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu,
sebagaimana wajib pula memegangi manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan
menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak
boleh melawan tafrith (kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja)
dengan ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula sebaliknya,
ghuluw dilawan dengan tafrith, itu tidak boleh.
12. Setiap bikinan baru dalam agama itu bid’ah, dan
setiap bid’ah tu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.
Sumber dan penyebab
menyimpangnya aqidah
Aqidah itu wajib dijaga kemurniannya, tidak boleh ada
penyimpangan atau penyelewengan. Karena, kalau aqidahnya menyimpang berarti
keimanannya rusak, akibatnya semua amal tidak diterima. Sebab syarat diterimanya
amal itu adalah iman, dalam arti iman yang benar, yang tidak
menyimpang.
Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di
antaranya sebagai berikut.
1. Akal yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga
kebodohan terhadap aqidah shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran
dan As-Sunnah adalah akal Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah
SWT.
قال ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا
خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين.
“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk
bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih
baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari
tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).
Di samping itu, kebodohan terhadap aqidah yang benar
mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.
Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya karena tidak mau
mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di kalangan Muslimin
belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan, karena kurang perhatian,
dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh aqidah-aqidah yang
bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua hendaknya memperhatikan
ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah yang benar, supaya tidak
tersesat.
2. Mengikuti hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
ولا تطع من
............................................. أمره فرطا.
“Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah
kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah
keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi:
28).
Nabi Muhammad Saw bersabda:
إياكم والغلو في الدين فإنما هلك من كان
قبلكم بالغلو.
“Iyyaakum walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka man kaana
qoblakum bilghuluwwi.”
Artinya:
“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan)
dalam agama karena sesungguhnya rusaknya orang dulu sebelum kamu itu hanyalah
karena ghuluw.
3. Karena menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk
agama-agama terdahulu. Nabi Saw bersabda:
لتركبن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو أن أحدهم دخل جحر ضب
لدخلتم وحتى لو أن أحدهم جامع امرأته بالطريق لفعلتموه.
“Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin
wadziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin
ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum jaama’am-ro’atahuu bit-thoriiqi
lafa’altumuuhu.”
Artinya:
“Pasti kamu sekalian
benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum
kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya
salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai
seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu
sekalian melakukannya (pula). Mengikuti kelakuan orang-orang
dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam kasus yang dikemukakan Nabi Saw
itu tentang keburukan. Sedang mengenai hal-hal yang disyari’atkan untuk
umat-umat terdahulu pun tidak boleh dilakukan, kecuali kalau dibolehkan oleh
Nabi SAW. Karena Nabi SAW bersabda:
"...والله لو كان موسى حيا لما وسعه إلا
أن يتبعني."
“...Walloohi lau kaana Muusaa hayyan lamaa wasa’ahu illaa
an yattabi’anii.”
Artinya:
“...Demi Allah, seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti
dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.”
4. Adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, ta’asshub
(fanatik suku, golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa tahu
dalilnya).
وإذا قيل لهم اتبعوا ............................................ ولا
يهتدون.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa
yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.”
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat peunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).
Setelah kita bicarakan sumber-sumber pokok pengambilan dan
manhaj Islam, demikian pula kita waspadai sumber-sumber penyelewengan aqidah
Islam, mudah-mudahan kita terbebas dari segala penyelewengan. Sehingga iman dan
Islam kita benar-benar lurus sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Mudah-mudahan.
Amien.
Sumber:
..Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl
As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal
1411H
· Mendudukkan
Tasawuf, Darul Falah Jakarta, Ramadhan 1420H/ Desember
1999.
· Dr Shaleh bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Darul Haq Jakarta, cetakan I, Rajab
420H.
(Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal
Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H, hal 7-9).
(HR Al-Hakim dari Ibnu Abbas, berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam
Al-Jami’ as-Shaghir).
(Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul
Iman, dan Ad-Darimi dengan lebih sempurna, berderajat Hasan, karena punya banyak
jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harawi dan lainnya).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar