Perusakan Islam
Lewat BahasaCara Menghadapinya dengan
Karangan
Islam menjadi
sasaran perusakan yang dilakukan orang dengan berbagai cara. Ada yang mendirikan
lembaga pendidikan/ pengkajian tetapi tujuannya demi pendangkalan Islam atau
tasykik (membuat keragu-raguan).
Ada yang
mengkutak-kutik istilah Islam yang sudah baku untuk diselewengkan
maknanya.
Contohnya, istilah
"hamba Allah yang sholeh" itu dalam Islam adalah orang yang beriman. Dan
istilah itu ada riwayatnya jelas, As-Suddi (ulama besar ahli tafsir masa
tabi'in) menjelaskan makna hamba Allah yang sholeh itu adalah orang-orang
mukmin. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 halaman 245 dalam menafsiri QS
Al-An-Biyaa'/ 21: 105). Namun istilah yang sudah mapan itu oleh Dr Ir
Imaduddin Abdul Rahiem tiba-tiba mau dirubah, bahwa hamba Allah yang sholeh
itu tidak mesti beriman. Hingga dia katakan, Presiden Amerika, Bill Clinton,
--yang kelak ramai dibicarakan orang sedunia karena skandal seksnya dengan
sekretaris kepresidenan, Monica Lewinsky- itu oleh Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem
(sebelumnya telah) dianggap sebagai hamba Allah yang sholeh, bahkan dia sebut
sebagai Khalifatullah fil ardh (Khalifah/ pengganti atau wakil Allah di bumi).
Padahal menurut Islam, orang yang sholeh itu syarat utamanya adalah iman.
Sedang Muslimin terpilih bahkan terbaik setelah Nabi Muhammad saw yaitu Abu
Bakar As-Shiddiq saja pangkatnya hanya khalifah Nabi, namun Clinton yang non
Muslim dan kelak heboh skandal seksnya itu telah dinyatakan oleh Imaduddin
sebagai hamba Allah yang sholeh dan khalifah Allah.
Pernyataan Imaduddin
itu dia kaitkan dengan Al-Qur'an S Al-Anbiyaa'/ 21:105
"Dan sungguh telah Kami
tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfudh, bahwasanya bumi
ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh.(Al-Anbiyaa'/ 21:105).
Keruan saja
pernyataan Imaduddin yang dimaksudkan sebagai penafsiran Al-Quran itu menjadi
ramai ketika dia kemukakan dalam pidatonya saat ia menyajikan makalah di dalam
"Seminar Internasional VI Mukjizat Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang Iptek", yang
diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) dan ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia), 29 Agustus - 1 September 1994, di IPTN
(Industri Pesawat Terbang Nusantara) Bandung. Sampai-sampai, Dr Al-Muslih dari
Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) Makkah, ketua penyelenggara seminar
internasional yang sudah berpengalaman di berbagai negeri dalam menyelenggarakan
acara yang sama di hadapan para cendekiawan Islam sedunia, saat itu meminta
waktu seketika, dan mengemukakan bahwa seminar internasional semacam ini telah
diselenggarakan selama 6 kali, namun baru di Indonesia ini makalah-makalah yang
tidak bermutu bisa ditampilkan. Saat itu Dr HM Quraish Shihab selaku pembawa
acara tampak klimpungan, lalu ingin membela diri (rekannya sebangsa, Indonesia)
bahwa pihaknya telah berupaya keras untuk menampilkan makalah-makalah yang
bagus, dan ini telah diusahakan dari sekian banyak, hanya beberapa makalah yang
bisa diloloskan untuk tampil dalam forum internasional ini.
Ungkapan Quraish
Shihab itu justru bermakna terbalik. Maunya membela rekannya sebangsa, namun
justru terperosok, dan secara tidak langsung sama dengan mengatakan, yang sudah
dianggap bagus saja seperti itu mutunya, apalagi yang tidak lolos. Maka suasana
seminar pun kacau, ramai sekali, akhirnya dibubarkan sementara alias istirahat
sementara. Sedang para peserta saling berbantah-bantahan satu sama lain. Tampak
KH Sa'id Hilaby (almarhum, Ulama Al-Irsyad) ingin meleraikan para ilmuwan Islam
sedunia yang sedang ribut itu di waktu "istirahat-terpaksa" itu. Namun tetap
saja suara-suara nada protes terhadap pendapat Imaduddin itu bermunculan secara
gaduh, hanya saja bukan dalam suasana sidang, karena memang sidangnya diskors
sementara. Pakar-pakar tafsir Al-Qur'an seperti Dr Ahsin Muhammad Asyrofuddin
alumni Saudi Arabia ketika saya wawancarai, beliau mengemukakan belum pernah
mendengar ulasan seperti yang dikemukakan Imaduddin itu. Sementara itu Dr Sa'id
Aqil Al-Munawar (bukan Said Aqil Siraj yang di buku ini disebut termasuk yang
mempelopori do'a bersama antar agama, satu bid'ah yang sangat tercela) yang juga
alumni Saudi Arabia ketika saya wawancarai, Pak Aqil Al-Munawar menjawab,
barangkali Pak Imaduddin hanya keliru saja.
Saat itulah
Imaduddin, salah satu orang Indonesia yang dianggap pakar Islam dan dari
kelompok yang suka melontarkan penafsiran sak gaduk-gaduke
(seterjangkau-jangkaunya), ternyata mengalami musibah langsung, kena batunya di
forum internasional, di hadapan para ahlinya.
Omong-omong tentang
"kena batunya" di depan para halinya, kalau yang sifatnya tidak di forum
internasional tetapi skup nasional agaknya sering juga terjadi. Misalnya, Prof
Dawam Rahardjo ketika berpidato tentang hukum waris Islam tahun 1987 --zaman KH
Munawir Sjadzali jadi menteri agama dan ingin merubah hukum waris Islam antara
laki-laki dan perempuan untuk disamakan satu banding satu-- di depan para utusan
Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Syari'at yang rata-rata adalah para pejabat dari
Peradilan Agama, Prof Dawam Rahardjo mengemukakan, kalau mau membagi harta
warisan dua banding satu antara lelaki dan perempuan, bagaimana menghitungnya?
Ungkapan Prof Dawam
Rahardjo itu tampaknya membela Pak Munawir yang ingin merubah hukum waris Islam
dari hukum aslinya: bagian lelaki dibanding wanita adalah dua banding satu,
lalu ingin dirubah jadi satu banding satu. Arah pembicaraan Dawam Raharjo
adalah: Kalau satu banding satu kan mudah menghitungnya. Kalau dua banding satu,
bagaimana menghitungnya?
Nah, hadirin yang
memenuhi aula di suatu gedung di Kaliurang Yogyakarta itu secara spontan tampak
menertawakan kepicikan Dawam Rahardjo, ketika mereka mendengar ungkapannya yang
aneh itu. Seketika itu pula Prof Dawam Rahardjo tampaknya merasa kalau dirinya
ditertawakan secara serempak oleh para ahli. Dalam hal ini ahli memberikan fatwa
waris. Rupanya Prof Dawam Rahardjo ini seketika langsung merasa bahwa dirinya
sedang "menggarami laut" dan bahkan tanpa persediaan garam yang banyak, maka
pidato yang baru 10 menit itu terpaksa dia hentikan sendiri, dia ucapkan:
wassalamu'alaikum warohmatullah.... lantas ia ngibrit pulang langsung ke
Jakarta, tidak pakai tengak-tengok kanan kiri lagi.
Peristiwa itu
berbeda dengan Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem. Meskipun Imaduddin sudah kena
batunya di forum internasional di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara)
Bandung, namun ia masih pula berani-beraninya khutbah di masjid IPTN itu saat
itu pula. Keruan saja, KH Ahmad Khalil Ridwan alumni Madinah, kemudian berpidato
keras-keras di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, meyakinkan jama'ah
bahwa Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem tidak bisa berbahasa Arab, dengan bukti
khutbah jum'atnya di Masjid IPTN Bandung salah-salah dalam membacanya. Kenapa KH
Ahmad Khalil Ridwan sampai mempidatokan diri orang lain semacam itu, menurutnya
karena orang yang disebut tidak bisa berbahasa Arab itu telah berani menafsiri
ayat Al-Qur'an semaunya.
Demikianlah secuil
suasana percaturan penyebaran ilmu Islam di Indonesia, keadaannya
menyangkut-nyangkut hal-hal yang bisa merusak Islam alias merusak pemahaman
Islam. Itu saja baru mengenai hal yang berkaitan dengan seluk beluk bahasa.
Kembali kepada
masalah awal tentang perusakan Islam, ada lagi yang merusak Islam lewat
praktek perbuatan, dan ada yang lewat bahasa dan karangan.
Merusak Islam
lewat bahasa itu hal yang berbahaya. Bahkan ucapan yang kadang dianggap
biasa saja, bisa mencemplungkan pengucapnya ke neraka selama 70
tahun.
Kita simak sabda Nabi SAW:
"Innar rojula
layatakallamu bil kalimati laa yaro bihaa ba'san yahwii bihaa sab'iina khoriifan
fin naari."
"Sesungguhnya ada
seorang laki-laki mengucapkan satu perkataan yang dianggap tidak apa-apa (tetapi
ternyata) menjerumuskannya ke dalam neraka sampai 70 tahun." (Hadits Shahih
Riwayat At-Tirmidzi dalam Az-Zuhd 4/604 dari Abu Hurairah)
Berikut ini
insya Allah akan diuraian tentang perusakan Islam lewat bahasa. Kemudian
disambung dengan cara menanggulanginya yaitu dengan memaparkan teknik
pemakaian bahasa dalam mengarang, dan rangsangan agar ummat Islam
menanggulangi perusakan Islam yang dilancarkan musuh. Marilah kita bicarakan
satu demi satu.
Tentang
bahasa
Bahasa ialah
ungkapan pikiran dan perasaan manusia yang secara teratur dinyatakan dengan
memakai alat bunyi. Perasaan dan pikiran merupakan isi bahasa, sedangkan bunyi
yang teratur merupakan bentuk bahasa.
Ada dua macam
bentuk bahasa: bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Bahasa tulisan
dianggap merupakan sistim yang sangat bergantung kepada ujaran. (Lihat
Ensiklopedi Umum, hal 116)
Asal bahasa
Bahasa itu
sendiri, secara sekuler, disebut tidak diketahui asalnya. Sedangkan di dalam
Islam, Al-Quran telah menjelaskan, Nabi Adam AS diajari oleh Allah SWT tentang
nama-nama semuanya. Jadi, bahasa itu jelas asalnya dari Allah SWT.
"Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,... (QS
Al-Baqarah/ 2: 31).
Bahasa
Indonesia
Menurut Ensiklopedi
Umum, Bahasa Indonesia berasal dan tumbuh dari bahasa Melayu Riau, Johor,
daerah sekitar Selat Malaka. Sekurang-kurangnya sejak 6 abad lalu bahasa
Melayu itu menjadi bahasa perhubungan.
Istilah-istilah
Islam tentu masuk ke dalam bahasa Indonesia sebagaimana masuk ke bahasa-bahasa
bangsa lain. Lebih dari itu, Bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran dan
Al-Hadits (sumber Islam) terbukti masuk dan banyak yang menjadi kosa kata
dalam bahasa Indonesia bahkan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, terutama yang
berkaitan dengan agama, wabil khusus istilah hukum. Karena, pada dasarnya hukum
yang berlaku di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dan Melayu (Jawi) adalah
hukum Islam. Sampai sekarang, istilah nikah, talak, ruju', waris, waqaf,
hibah dsb yang berasal dari bahasa Arab (Islam) menjadi bahasa resmi di
Indonesia. Itu disamping istilah-istilah umum biasa seperti: sabun, fikir,
kursi, huruf, hukum dsb.
Upaya menghapus
istilah-istilah Islam
Pengaruh bahasa
Arab yang cukup dominan ini tak disukai oleh pihak yang kurang senang dengan
Islam, atau oleh orang yang mengaku Islam namun dalam hatinya mengandung
penyakit ingin merusak Islam. Hingga gedung MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) yang istilahnya itu sendiri dari kata-kata Arab Islam (yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat, tiga kata itu semuanya dari kata-kata Arab), namun pada
waktu jaya-jayanya Soeharto sebagai presiden RI ke2 menggulkan aliran
kemusyrikan (kebatinan) dalam GBHN 1978, lantas nama ruangan-ruangan gedung MPR
itu diganti dengan bahasa Sanskerta, bahasa usang yang sudah tak terpakai.
Seperti ada ruang wirashaba dsb yang hampir seluruh masyarakat sulit
mengucapkannya, apalagi untuk tahu artinya. Juga memberi nama "kereta api
cepat" dengan nama Argo (gunung) Gede, Argo Bromo, Argo Lawu; sedang pesawat
terbang dinamai Tetuko (nama wayang) dsb. Belum lagi masalah penghapusan
tulisan Arab dari uang resmi setelah tahun 1960-an, dan penghapusan pelajaran
menulis dan membaca Arab- Melayu sejak 1970-an. Padahal tulisan Arab itu sampai
kini justru digalakkan di negeri jiran seperti di Brunei Darus Salam yang
setiap plang (papan nama)jalan ataupun plang-plang di bandar udara/ lapangan
terbang ditulis dengan tulisan Arab. Namun di Indonesia, plang IAIN (Institut
Agama Islam Negeri) pun dihapus dari tulisan Arabnya (Al-Jami'ah Al-Islamiyyah
Al-Hukumiyyah/ )sejak menjelang tahun 1990-an (?).Masjid-masjid pun plangnya
sudah banyak yang tidak memakai huruf Hijaiyyah lagi. Sementara di balik
itu ada yang ghuluw (ekstrem) hingga tembok di dalam masjid ditulisi dengan
apa yang disebut kaligrafi aneka macam tulisan.
Penyesatan dengan
bahasa yang tampak Islami
Sementara itu ada
juga yang mengambil kesempatan menggunakan tulisan Arab dan Bahasa Arab yang
tampaknya Islami, untuk karangan-karangan yang menyesatkan ummat Islam,
bahkan menjajakan kemusyrikan secara terbuka. Misalnya buku-buku Mujarobat
yang isinya bercampur dengan kemusyrikan, primbon-primbon (ramalan-ramalan,
khurofat, tathoyyur, takhayyul dsb), tafsir-tafsir mimpi yang tidak shohih
dan bahkan kitab-kitab kuning (Arab Gundul, hurufnya tidak pakai baris/
harokat dan kertasnya biasa berwarna kuning) pun tidak terbebas dari hal-hal
yang menjerumuskan aqidah ummat Islam. Misalnya kitab tentang Nur
Muhammad, yang hal itu intinya: Tidak dijadikan dunia seisinya ini kecuali
karena Nur Muhammad. Itu adalah keyakinan orang shufi (tasawuf) sesat yang
bercampur filsafat Yunani dan kepercayaan bathil Nasrani. Lalu diberi dalil
berupa hadits palsu/ maudhu':
Laulaaka lamaa
kholaqtul aflaaq (Seandainya bukan karena engkau Muhammad, maka pasti tidak Aku
ciptakan planet-planet ini). Ini sangat dipegangi di kalangan shufi (orang
tasawuf) sesat. Setiap mereka memperingati maulid Nabi SAW --yang tidak ada
perintahnya samasekali dalam Islam--, selalu mereka kemukakan hadits palsu itu
(baca rangkaian ini pada bab mengenai tasawuf di buku ini, atau selengkapnya
baca tentang Nur Muhammad di Buku Mendudukan Tasawuf, Gus Dur Wali?). Juga
kitab-kitab lain yang dipakai kalangan shufi bahkan pesantren umum di
Indonesia di antaranya Kitab Durratun Nashihien yang mengandung banyak hadits
palsu dan bahkan khayalan yang jauh dari ajaran Islam. Semua itu menggunakan
tulisan Arab dan Bahasa Arab, namun kini di-Indonesiakan oleh orang-orang yang
hanya mengejar duit, tidak menggubris sesatnya ummat.
Istilah Islami diselewengkan kaum sekuler
Ada juga istilah
yang asalnya Islam diselewengkan kepada kemusyrikan, misalnya upacara sesaji
kemusyrikan dinamai sedekah bumi. Lafal sedekah itu dari shodaqoh. Ada juga
perkataan lokal yang secara haqiqi bermakna biasa, namun secara maknawi-
kemusyrikan dimaknakan lain, seperti: wedus gembel itu artinya adalah kambing
kibas, namun oleh pihak tertentu dijadikan sebagai nama (lambang kepercayaan
syirik) penyebab timbulnya angin panas yang menghanguskan manusia dan hewan
di Kaliurang Yogyakarta 1994. Hingga koran (Islam?) Republika pun ikut-ikutan
mempublikasikan istilah kemusyrikan itu.
Kaum sekuler pun
bertingkah pula. Mereka gigih mengganti istilah-istilah Islam-Arab dengan
istilah Barat. Misalnya, mereka alergi menggunakan istilah [1]akhlaq[1] hingga mereka ingin
menggusurnya dengan istilah etika atau moral, sedang Aqidah-Tauhid diganti
dengan Teologi. Istilah tahkim diganti dengan arbitrase. Mereka tak mau
menggunakan istilah Ahad, lalu diganti dengan Minggu, dan bahkan bukan sekadar
harinya yang diganti namun tanggal qomariyah yang merupakan penanggalan yang
berkaitan dengan ibadah telah mereka upayakan untuk ditinggalkan, hanya
memakai tanggal syamsiyah. Hingga generasi Islam pun tidak hafal nama-nama bulan
Hijriyah/ qomariyah.
Itu semua adalah
upaya mengikis Islam dari segi bahasa dan istilah.
Orang-orang jahil
pun ikut-ikutan merusak Islam secara sadar ataupun tidak, dalam hal memompakan
istilah. Pernah ada pejabat tinggi negara yang ingin menamakan pelacur dengan
"wanita harapan" di masa jaya-jayanya Presiden Soeharto. Bahkan selama
pemerintahan Soeharto, istilah pelacur telah diganti dengan "wanita tuna
susila" kemudian disingkat dengan WTS. Hingga orang tua dari gudang WTS di
Indramayu Jawa Barat pernah dikhabarkan ada yang bangga anaknya jadi WTS di
Jakarta karena duitnya banyak, sedang ia tak tahu apa arti kata "WTS" itu.
Menghalalkan
perzinaan lewat bahasa
Untuk menghalalkan
pelacuran, dimunculkan pula istilah pekerja seks. Seakan perbuatan yang melawan
hukum Allah itu menjadi salah satu jenis pekerjaan yang perlu disahkan.
Na'udzubillaahi min dzaalik.
Setelah perzinaan
merajalela, wanita-wanita karier banyak yang dikhabarkan menyeleweng, maka
dimunculkan pula istilah yang seolah-olah bukan larangan agama. Pasangan zina
laki-laki cukup disebut PIL (Pria Idaman Lain), sedang pasangan zina
perempuan disebut WIL (Wanita Idaman Lain). Artinya, para pezina itu sudah
punya isteri atau suami namun kemudian berzina. Mereka itu seharusnya
dirajam, yakni dihukum mati oleh pengadilan, caranya ditanam setengah badan
di depan umum (misalnya di depan masjid), lalu dilempari batu kecil-kecil
sampai mati. Namun yang dimunculkan dalam istilah yang merusak Islam itu justru
istilah menggiurkan yaitu pria idaman, dan wanitaidaman. Sehingga pasangan
zina justru disebut idaman. Na'udzubillahi min dzaalik.
Para pengomando
seks bebas entah itu berkedok sebagai dokter ahli seks ataupun lainnya
mempromosikan istilah itu secara gencar sebagai penyambung lidah aspirasi
syetan yang merusak Islam. Belum lagi iklan kondom yang digencarkan dengan
suara mendayu-dayu yang intinya menghalalkan zina asal pakai kondom. Suatu
penentangan agama yang terang-terangan, namun tidak diambil tindakan oleh
pemerintah. Padahal, diturunkannya ayat yang artinya Barangsiapa tidak
berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang
kafir, itu adalah berkaitan dengan enggannya kaum Yahudi menerapkan hukum
rajam atas pezina yang telah diwahyukan Allah SWT dalam Taurat. Malahan kini
ada gejala yang lebih bandel lagi ketimbang Yahudi itu. Kini bukan hanya
tidak mau melaksanakan hukum rajam, namun bahkan menghalalkan perzinaan dengan
aneka bahasa dan dalih. Astaghfirullaahal 'Adhiem. Kadang penghalalnya itu
perempuan lagi, dengan membela-bela diteruskannya lokalisasi pelacuran, dan
mereka tak rela akan dibubarkannya, dengan aneka dalih.
Wanita-wanita
murahan yang kerjaannya suka dipotret telanjang pun berani berkilah-kilah dengan
bahasa, katanya ketelanjangannya itu hanya trik kamera. Lalu pihak-pihak yang
mendukung sarana perzinaan dengan menyebarkan gambar-gambar porno pun tak
mau kalah, mereka menyebut yang porno itu dengan istilah keren, estetika
alias seni keindahan. Syetan telah mengomandoi mereka, maka menganggap baik
kejorokan yang mereka lakukan.
Golongan ahli rancu
terjerumus
Satu partai yang
didirikan oleh organisasi berlabel Ulama pun konon berkampanye di daerah
pelacuran, dan para pelacur merengek agar tidak dibubarkan sarang
pelacurannya. Bisa diucapi, memang babi atau tikus got (pecren,Jw) itu lebih
suka hidup di comberan. Apakah ini sudah salah kedaden (salah pola
dasarnya)? Wallahu a'lam. Yang jelas, trend sikap suatu gerombolan, geng,
atau bahkan golongan tertentu, sering berkait berkelindan dengan lakon para
penggedenya.
Ada orang
terkemuka dari golongan itu yang dikenal dengan sebutan Gus Anu. Dia ini
hafal Al-Quran dan sering mengadakan sima'an Al-Quran, pembacaan Al-Quran
secara hafalan, dan didengarkan banyak orang di suatu majlis. Gus Anu itu konon
suka datang ke daerah remang-remang, hingga wanita-wanita pelacur yang disebut
penghibur (ini istilah yang mengelabui pula) banyak yang kenal.
Diberitakan, si hafal Quran itu minum minuman bir hitam segala.
Lalu sampai pada
usianya pun meninggallah ia. Lakon seperti itu kemudian dipuji-puji pula oleh
seseorang --yang terkemuka dan pernah saya tulis buku khusus tentang bahaya
pemikirannya-- untuk mengenang kematiannya di koran Katolik tempat
menggedekan si pemikir bahaya itu. Lha kalau lakon seperti itu saja dipuji,
maka lakon berkampanye di tempat pelacuran oleh partainya itu ya dianggap
lumrah (biasa, wajar). Padahal, kalau orang yang sedang kampanye di tempat
pelacuran itu tiba-tiba mati di sana, dan atau ada adzab jatuh di sana, maka
suu-ul khotimah (buruk akhir hayatnya) lah mereka. Kenapa? Karena, pada
hakekatnya sama dengan sudah rela terhadap keberadaan tempat maksiat itu
sendiri. Namun berhubung cara berfikir mereka sudah rancu dan sering menolak
nasihat kebenaran alias sombong, maka begitulah adanya. Terjadilah apa yang
terjadi. Itu di antaranya gara-gara pengelabuan istilah berupa apa yang mereka
sebut "wali". Istilah "wali", bagi mereka bisa kalis (terkena tapi tak
berbekas) dari kesalahan, hatta kesalahan yang jelas-jelas amat sangat
mencolok secara syar'i. Imbasnya, muballigh kondang
Zaenuddin MZ pun
pernah terpeleset pula, ia berpidato dengan bangga bahwa dirinya berceramah di
tempat pelacuran. Keterpelesetan semacam itu mudah-mudahan tak terulang, dan
hendaknya beliau tidak mengulangi ketidak cermatannya dalam memahami
Islam.
Seorang bekas
bajingan seperti Anton Medan pun mendirikan lembaga yang di antara programnya
mengkhususkan penerjunan para da'inya untuk berda'wah ke tempat pelacuran.
Giliran tempat mesum itu diliburkan oleh Gubernur DKI Jakarta Surjadi Sudirja
untuk pertama kalinya pada Ramadhan 1417H, maka program yang sudah
dirancang rapi oleh Anton dan anak buahnya itu gagallah. Boleh
diperkirakan, justru mereka "menyesal" dengan diliburkannya tempat
pelacuran itu. (Lihat buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi
Politik Islam..... Darul Falah Jakarta, 1420H).
Kenapa Anton berprogram
seperti itu? Wallahu a'lam. Tetapi gurunya, kita kenal adalah seorang
terkemuka dari golongan seperti tersebut di atas, tidak lain adalah Kiai Haji
Noer Muhammad Iskandar SQ tokoh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pembela utama
Gus Dur,
yang telah punya
pemahaman rancu mengenai pernikahan, dipraktekkan pula hingga pernah heboh dan
memalukan.
Jadi istilah "wali"
yang disalah artikan seperti tersebut di atas, ternyata rangkaiannya sangat
jauh, dan pengaruhnya amat jauh dari ajaran Islam, secara melembaga di suatu
organisasi dan kalangan pesantren yang mengaku Ahlus Sunnah namun seringkali
belepotan dengan bid'ah.
Gerombolan dukun
dengan istilah mentereng
Dari segi
pelanggaran aqidah yang amat tinggi pun diciptakan istilah yang sangat merusak
aqidah. Dukun santet, dukun nujum, dukun ramal dsb diganti dengan istilah
para normal. Kemudian secara terang-terangan mereka mengiklankan diri dan
disponsori oleh media massa yang dalam hal ini merusak Islam di antaranya
koran Pos Kota untuk diadakan praktek secara nasional dengan iklan
besar-besaran. Lalu diberitakan pula dengan cara yang menarik.
Sehingga seakan sebagai
hiburan belaka, sedang para dukun itupun telah menjerumuskan ummat dengan
mengeruk duit per-orang Rp300.000,-. Padahal, menurut Nabi Muhammad SAW,
mendatangi dukun untuk bertanya sesuatu saja sudah ditolak sholatnya 40
hari. Sedang kalau bertanya kepada dukun tentang sesuatu dan (lantas)
meyakininya maka dihukumi telah kafir terhadap Islam yang dibawa Nabi
Muhammad SAW, menurut hadits shahih. Namun justru kini secara
terang-terangan para dukun perusak aqidah itu membuat apa yang mereka
sebut PPI
(Paguyuban Para
Normal Indonesia) yang konon anggotanya telah mencapai 60.000 dukun. Jadi
penjaja kemusyrikan yang dulu masih ngumpet-ngumpet (sembunyi-sembunyi), kini
telah terang-terangan. Padahal, bahayanya bagi ummat tidak kalah dengan
bahaya garong, copet, maling ataupun gedor, kecu, bangsat, dan bajingan
lainnya. Hanya saja para bajingan itu merugikan secara harta, namun apa yang
disebut para normal itu merusak total aqidah ummat, yang justru lebih
sangat-sangat berbahaya. Namun penguasa tampak diam-diam saja, bahkan pernah
ada pejabat kabupaten di Bantul Yogyakarta yang dikhabarkan membayar dukun
sampai satu miliar rupiah.
Aneh bin ajaib, di
kalangan orang Islam sendiri menyetujui apa yang disebut "orang pinter".
Padahal, hakekatnya sami mawon (sama saja), dukun-dukun juga. Walaupun yang
disebut orang pinter itu berlabel kiai, tetap sama juga dengan dukun Mbah
Jambrong, kalau prakteknya dukun-dukun juga. Namun masyarakat
mengidentikkan dukun itu dengan kiai. Hingga ribuan orang dari golongan yang
sering rancu aqidahnya berduyun-duyun ke dukun yang disebut kiai untuk minta
ilmu kebal. Suatu bentuk pelanggaran aqidah yang terang-terangan, namun
dilakukan secara demonstratip oleh golongan bid'ah dan khurofat. Ini satu
kerancuan akibat pengelabuan lewat bahasa.
Karena kemusyrikan
perdukunan makin dianggap biasa, maka di saat tumbuh reformasi dan bermunculan
media massa baru, lalu ada yang justru rajin mengiklankan kemusyrikan.
Contohnya, koran Duta yang dikenal koran kaum NU (Nahdlatul Ulama) yang
berhaluan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) tampak bersemangat mengiklankan
susuk, yaitu aji-aji kemusyrikan, dengan disebut ratu susuk asmara. Itu jelas
menjerumuskan, seolah aji-aji susuk kemusyrikan itu boleh-boleh saja.
Demikian pula koran
yang konon SIUPP-nya Islam seperti Harian Terbit suka mengiklankan
kemusyrikan itu pula. Televisi swasta pun ada yang mengobral kemusyrikan
model itu. Semua itu dikemas dengan bahasa yang seakan tidak ada masalah
menurut agama.
Membredel
lafal-lafal Islami
Di balik itu
semua, anak-anak kita pun telah kita lepaskan ikatannya terhadap lafal Allah.
Hingga mereka tidak kita biasakan mendekat pada-Nya. Justru kita jauhkan dari
Allah sejengkal demi sejengkal. Yang semula anak kita masih mengucap: "Ya
Allah... kini kita jauhkan dari kata-kata itu. Kita ganti dengan Ya
ampun...., Ya amplop... dan sebagainya. Yang tadinya anak-anak kita diajari
ustadznya agar membaca alhamdulillaah ketika bersin atau bangkis, kini telah
kita jauhkan dari puji syukur itu. Yang tadinya masyarakat kita fasih
mengucapkan astaghfirullah ketika terperanjat, kini kita jauhkan dari istighfar
itu dengan ucapan: astaga, atau bahkan astaganaga yang tidak punya makna
minta ampun pada Allah sama sekali.
Semua
sedekah-sedekah yang bisa kita lakukan dengan mulut seperti membaca
alhamdulillaah, astaghfirullaah, Allahu akbar, innaa lillaahi wa innaa
ilaihi rooji'uun, dan sebagainya itu telah kita bredel dari diri kita,
masyarakat kita, anak-anak kita, bahkan cucu kita. Jadilah kita ini
orang-orang yang sekuler, tidak mau menyebut nama Allah, apalagi berdzikir.
(Lihat Buku Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1994, hal
41).
Penerjemahan
Sejak tahun 1980-an
tumbuh subur penerbit-penerbit Islam yang mencetak buku-buku terjemahan dari
bahasa Arab, buku Islam. Pengaruhnya cukup luas karena sambutan generasi
muda Islam dan kaum terpelajar cukup baik. Hanya saja kadang timbul
beberapa masalah di antaranya tentang bahasa, misalnya kurang tepatnya
penerjemahan. Dan masalah lain lagi tentang belum tentu kitab yang
diterjemahkan itu baik dan benar secara Islam. Sedang penerjemah pun belum
tentu tahu persis ilmu atau maksud dari penulisan buku yang diterjemahkan itu.
Sehingga pada hakekatnya buku-buku terjemah itu baru merupakan alternatif
terendah ketika kita belum menguasai bahasa aslinya yakni Arab.
Mengenai bahasa,
sering ada idiom kata-kata Arab yang sulit diterjemahkan. Misalnya, lafal
Tsakilatka ummuk, waihaka, taribat yadaaka, 'aqro halqo dsb yang semua itu
ada di dalam hadits. Suatu ungkapan yang ditujukan kepada mukhotob (orang
yang diajak bicara) secara lahiriyah berisi dzam (celaan) atau bahkan do'a
maut, namun bukan dimaksudkan demikian.
Bahasa dalam
mengarang
Bahasa ini
sangat penting bagi penulis naskah, karena pada dasarnya menulis karangan itu
adalah mengemukakan buah pikiran dengan bahasa.
Bahasa tulis ini
sifatnya lebih tinggi dibanding bahasa pergaulan sehari-hari. Sehingga, di
samping pengarang itu gagasannya (fikroh dan tashowwurnya/ pemikiran dan
persepsinya) jelas, masih pula dituntut mampu mengemukakan buah pikirannya itu
dengan bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah pemahaman umum. Karena bahasa
memang sifatnya umum. Hanya saja, orang yang kreatif kemungkinan bisa
memasyarakatkan buah pikiran sekaligus memasyarakatkan istilah-istilah dalam
bahasa sesuai dengan ideologinya. Hingga tidak terasa, orang akan ikut
mengucapkannya, padahal istilah itu menyalahi aqidah. Misalnya, dimunculkan
istilah [1] "di bumi pancasila ini",
"hari kesaktian pancasila", "padamu negeri jiwa raga kami"[1] dsb. Istilah itu tidak sesuai dengan aqidah Islam, namun banyak orang
Islam yang ikut-ikutan mengucapkannya. Bahkan, dalam upacara penguburan
mayat konon diucapkan, "Kita serahkan jenazah ini kepada ibu pertiwi".
Kata-kata itu
bertentangan dengan Islam yang menuntun ummat untuk mengucapkan:
"Bismillahi wa 'alaa
millati Rasulillaah"
"Dengan nama Allah, dan
atas agama rasul Allah." (HR At-Tirmidzi dan Abu Daud). Bukan menyerahkan
mayat kepada bumi.
Ini menyangkut aqidah
yang sifatnya prinsipil, namun bisa dimainkan penyelewengannya lewat
bahasa.
Tata
bahasa
Masalah-masalah
seperti itu perlu dicermati bagi pengarang Muslim, penceramah, atau da'i. Di
samping itu, tata bahasa pun harus dikuasai, agar karangan yang ditulis
tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Kaidah itu misalnya
dalam bahasa Indonesia memakai hukum DM (diterangkan menerangkan). Contohnya,
kata "hijau lumut", maksudnya warna hijau seperti lumut. Hal ini biasanya
berbalikan dengan bahasa Inggeris. Sedangkan dengan Bahasa Arab, biasanya
sama. Hanya saja, dalam bahasa Arab yang relatif hukum DM ini sama dengan
Bahasa Indonesia pun kadang-kadang akan timbul penerjemahan yang berbeda,
karena beda persepsi dalam hal mana yang diterangkan. Contohnya, Surat Al-An'aam
ayat 123:
-------------------------
Dan demikianlah Kami
adakan pada tiap-tiap negeri akaabiro mujrimiihaa agar mereka
melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan
melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. (QS Al-An'aam/
6: 123).
Lafal akaabiro
mujrimiihaa itu terjemah Depag sendiri ada dua macam. 1, penjahat-penjahat
yang terbesar (dalam Al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI 1971, halaman
208), dan 2, pembesar-pembesar yang jahat (dalam Al-Quran dan Tafsirnya,
Depag RI 1985/1986, juz 8 halaman 266). Dua makna itu berbeda pengertiannya.
Yang satu pembesar-pembesarnya yang jahat, sedang yang satunya lagi
penjahat-penjahatnya yang besar.
Memilih kata dan
kalimat
Menggunakan bahasa
dalam mengarang, berarti memilih kata dan kalimat. Jadi, membuat karangan itu
pada pokoknya adalah:
1. Memilih
kata-kata.
2. membuat
kalimat.
3. Membuat kerangka
(outline)
4. Menuntaskan satu
bentuk karangan.
5. Mengoreksi kebenaran
bahasa, tulisan, alur, dan isi karangan.
Memilih kata-kata
dan membuat kalimat dalam suatu karangan hendaknya diupayakan agar bahasanya
benar dan baik. Bahasa yang benar yaitu yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
yang dipakai.
Adapun kalimat dan
kata-kata yang baik, artinya kata-kata yang tingkatannya tinggi, bahasa sopan
atau resmi. Dalam Bahasa Arab disebut bahasa fush-haa bukan bahasa 'aamiyyah,
pasaran.
Dari sini bisa
dimaklumi bahwa mengarang itu bukan sekadar mengeluarkan ide atau pemikiran,
namun juga bagaimana cara menyajikan buah pikiran itu lewat bahasa
tulisan. Secara mudah ibaratnya orang mau menyajikan makanan, maka ia harus
menyediakan bahan makan, lalu berupaya memasaknya, kemudian menyajikannya ke
meja makan untuk dimakan. Sehingga, karangan yang buah pikirannya bagus mesti
didukung dengan bahasa penulisan yang bagus dan benar. Karangan yang bagus
adalah yang isinya bagus dan benar, bahasanya bagus dan benar, dan alurnya
bagus hingga tidak bolak-balik.
Karangan yang baik
dan menarik
Karangan yang
bagus dan benar itu belum tentu menarik untuk dibaca. Untuk lebih bisa punya
daya tarik perlu dukungan kata-kata yang menarik, dan teknik-teknik lainnya,
di antaranya dengan memilih judul yang menarik, mengawali karangan dengan
kalimat yang jelas dan ungkapan yang menarik, dan persoalan yang dikemukakan
itu sendiri ditonjolkan lebih dulu segi-segi mana yang menarik.
Bahasa yang
menarik itu berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, satu suku
dengan suku lainnya, bahkan satu lapisan masyarakat dengan lapisan lainnya.
Orang awam tidak suka bahasa-bahasa asing, orang terpelajar tak suka bahasa
pejabat, sedang orang Islam harus menjauhi bahasa-bahasa sekuler dan
musyrik.
Misal, sebuah teks
khutbah tidak layak diawali dengan kisah:
Dengan diiringi gendang
serta gamelan yang bertalu-talu disertai bau kemenyan yang mewangi, jenazah
pelawak Gepeng diberangkatkan dari rumah duka siang itu.
Bahasa dan isi
kalimat tersebut sarat dengan makna yang mengandung ideologi kepercayaan
berbau kemusyrikan. Pintarnya orang meramu berita, pidato, kisah, laporan dsb
dengan kata-kata yang indah dan menarik, sering menjerumuskan orang ke arah
sesat yang jauh. Justru di situ tantangan ummat Islam, khususnya para da'i.
Mampukah dan maukah mengimbangi kegigihan mereka? Ummat Islam ditantang adu
canggih, sampai dalam hal kecanggihan meramu kata-kata untuk mengungkapkan buah
pikiran lewat teks. Entah itu sekadar slogan di spanduk, di iklan, di
siaran-siaran singkat dsb, maupun yang sifatnya teks serius seperti khutbah,
makalah, artikel, paper, buku ilmiah dan sebagainya.
Menangkal
serangan
Teori itu perlu
sekali kita praktekkan dalam menangkal berbagai serangan yang merusak Islam
seperti uraian tersebut di atas.
Perlu diingat,
kalimah syahadat pun diacak-acak Nurcholish Madjid dengan cara
menerjemahkannya menjadi Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Sedang
lafal Assalamu'alaikum diinginkan Gus Dur untuk diganti dengan selamat pagi.
Kuburan pun diberi istilah "keramat" entah oleh siapa, yang kandungannya
rawan syirik. Lalu Gus Dur menghidupkan Sunnah Sayyi'ah (jalan keburukan)
tentang pengeramatan itu dengan menghadiri kuburan Joko Tingkir di Lamongan
Jawa Timur yang tak banyak dikenal orang, akibatnya praktek rawan kemusyrikan
itu marak kembali sejak Juli 1999. (Tulisan ini bukan berarti anti ziarah kubur,
namun dalam hal ini jelas kaitannya dengan pengeramatan kuburan yang jelas
mengandung kerawanan syirik). Sementara itu pihak Nasrani lewat Nehemia-nya
mengacak-acak Islam dengan menyebarkan lembaran-lembaran yang disebut
[1]Dakwah Ukhuwah[1] padahal isinya memutar
balikkan ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits.
Ya! Itu semua adalah
serangan gencar yang merusak Islam. Maka Islam pun terhadap ummat ini
senantiasa minta bukti, apa yang telah kita upayakan dalam kancah peperangan
yang menuntut kecanggihan dan kegigihan ini.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar