Kebohongan-kebohongan &
Kesesatan
Darul Hadits/ Islam Jama’ah/ Lemkari/ LDII |
Penulis bertanya kepada KH Hasyim Rifa’i (ulama di Kediri). Beliau adalah mantan muballigh Islam Jama’ah yang telah mengaji kepada pendirinya H Nur Hasan Ubaidah dan kemudian menjadi muballigh aliran itu selama 17 tahun. Namun setelah beliau tahu kesesatan-kesesatan dan kebohongan aliran yang kini bernama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) itu kemudian beliau keluar, dan sangat gigih menentangnya. Pertanyaan yang kami ajukan kepada beliau sebagai berikut:
Apa saja kebohongan-kebohongan terpenting
aliran Darul Hadits/ Islam Jama’ah/ Lemkari/ LDII itu?
KH Hasyim Rifa’i menjawab: Aliran Darul Hadits/
Islam Jama’ah/ Lemkari/ LDII itu mengharuskan manqul. Manqul menurut
mereka yaitu: Al-Quran maupun hadits harus berisnad/ bersambung dari guru
sekarang sampai kepada Rasulullah. Jadi, Hadits yang dinyatakan shahih oleh Imam
Bukhari dan lainnya, belum cukup menurut mereka, masih harus ditambah dengan
rowi (periwayat) atau isnad (pertalian riwayat) dari guru sekarang
sampai kepada imam-imam hadits tersebut. Itu menurut teori mereka. Tapi secara
praktek, ternyata semua ayat atau hadits, baik lafadhnya, maknanya, maupun
keterangannya harus yang dikeluarkan oleh H Nur Hasan Ubaidah dan
murid-muridnya yang sudah disahkannya. Kalau dianggap melanggar maka
manqulnya dicabut, dan dianggap tidak sah lagi.
Landasan manqul ini, menurut dia (Ubaidah), adalah hadits:
من قال في كتاب الله برأيه فأصاب فقد أخطأ (رواه أبو داود.)
Man qoolaa fii kitaabillaah bi ro’yihi fa
ashooba faqod akhtho’a (HR Abu Dawud).
Maknanya menurut dia:
Barangsiapa yang berkata dalam kitab Allah dengan pendapatnya sendiri walaupun
benar maka salah.[1]
Kemudian perkataan Abdullah bin Mubarok, seorang tabi’it tabi’in, dalam
Muqaddimah hadits Muslim,
الإسناد
من
الدين
لولا
الإسناد
لقال
من
شاء
ما
شاء
Al-Isnaadu minad dien. Laulal isnaadu laqoola man
syaa-a maa syaa’a.
Isnad itu adalah sebagian agama. Andaikan tidak ada isnad maka orang akan
mengatakan apa saja yang dia mau.
Sanggahan KHHasyim
Rifa’i terhadap sistem manqul
Itu manqul
menurut mereka.
Di dalam ushul fiqh ada
dalil aqli dan dalil naqli. Dari lafadh naqola yanqulu naqlun fahuwa naaqilun
wa dzaaka manquulun. Manquulun (itu yang dipindahkan, dinukil, dikutip).
Dalil yang diambil dari Al-Quran dan Al-Hadits itu namanya manqul, artinya
dinukil dari Al-Quran atau Hadits. Jadi bukan seperti yang mereka (LDII)
fahami.
Imam
Ibnu Katsir berkata: Kalau ada orang bertanya, manakah jalan terbaik dalam ilmu
Tafsir? Jawabnya adalah: Sesungguhnya jalan terbaik dalam ilmu tafsir adalah
Al-Quran ditafsirkan dengan ayat. Yang mujmal dalam satu ayat maka akan
diperinci dalam ayat lain. Apabila belum cukup jelas, maka dengan As-Sunnah atau
Hadits, karena sunnah adalah penjelas dari Al-Quran, seperti firman Allah dalam
An-Nahl 64:
وما
أنزلنا
عليك
الكتاب
إلا
لتبين
لهم
الذي
اختلفوا
فيه
وهدى
ورحمة
لقوم
يؤمنون.
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab
(al-Quran), melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu, dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.”
Dan
sabda Rasulullah SAW:
ألا إني أوتيت القرآن ومثله
معه.
“Alaa innii uutiitul Qur’aana wa mitslahu
ma’ahu.”
“Ketahuilah aku diberi Al-Quran dan semisalnya bersamanya,” yakni
As-Sunnah Al-Muthohharoh.[2]
Kesimpulannya, kau cari Tafsir Al-Quran dari Al-Quran. Jika kau tak jumpainya
maka dari As-Sunnah. Apabila tidak kita jumpai pula maka kita kembalikan kepada
perkataan sahabat-sahabat Nabi Saw, karena mereka itulah yang lebih tahu tentang
ayat-ayat itu. Dan karena mereka menyaksikan hubungan-hubungan ayat itu dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masanya. Dan juga karena mereka punya
pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal shalih. Terlebih-lebih
ulama-ulama mereka serta tokoh-tokoh mereka seperti Khulafaur Rasyidin
Al-Mahdiyin di antaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu bakar, Umar, ustman,
Ali.
Abdullah bin Mas’ud berkata: Demi Dzat yang tiada sembahan kecuali Dia, tidak
ada satu ayat dari Kitab Allah yang turun kecuali aku tahu tentang siapa dia
turun, dan di mana dia diturunkan. Andaikan aku tahu ada seseorang yang lebih
alim tentang kitab Allah daripada aku, di manapun akan saya datanginya selagi
onta bisa berjalan ke sana.
Abdurrahman As-Sulami (seorang tabi’in) berkata, “Orang-orang yang membacakan
Al-Quran kepada kami, mereka belajar bacaan dari Nabi SAW dan setiap kali mereka
mempelajari 10 ayat, mereka belum ganti kepada ayat yang lain, sehingga mereka
tahu apa yang harus diamalkan dari ayat itu. Kemudian mereka berkata: Kami
mempelajari Al-Quran dan beramal bersama-sama.”
Dan di
antara sahabat yang ahli tafsir (Al-Quran) ialah Abdullah bin Abbas, yang diberi
gelar Al-Habru Al-Bahru (seorang pendeta yang sangat luas
pengetahuannya). Dia adalah putera paman Rasulullah SAW dan penerjemah Al-Quran,
berkat do’a Rasulullah Saw untuknya:
اللهم فقهه في الدين وعلمه تأويلا.
Allahumma faqqihhu fid dien, wa’allimhu ta’wiila.
Ya Allah, fahamkanlah dia dalam agama, dan ajarkanlah padanya
tafsir.
Ibnu Mas’ud berkata tentang Ibnu Abbas,
نعم
ترجمان
القرأن
ابن
عباس
Ni’ma
tarjumaanul Quraani Ibnu Abbas.
Sebaik-baik penerjemah Al-Quran itu Ibnu Abbas.
Abdullah bin Mas’ud wafat tahun 32H, sedang Abdullah bin Abbas meninggal 36
tahun berikutnya (68H). Coba bayangkan apa yang dilakukannya tentang ilmu
sesudah Ibnu Mas’ud. Karena itu kebanyakan yang diriwayatkan As-Suddi (penafsir
dari Tabi’in) dalam kitabnya adalah dari kedua sahabat itu (Ibnu Mas’ud dan Ibnu
Abbas). Tetapi kadang-kadang dia (As-Suddi) menceritakan perkataan-perkataan
yang diambil dari Ahli Kitab yang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, di mana
beliau berkata:
بلغوا عني ولو أية. فحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج. ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.
Ballighuu ‘annii walau aayah. Fahadditsuu ‘an Banii Israail walaa haroja.
Waman kaddzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu minan naar.
(Al-Bukhari).
Sampaikan apa yang datang daripadaku walau satu ayat. Dan
ceritakan apa-apa yang dari Bani israil, dan itu tidak dosa. Dan barangsiapa
yang bohong atas namaku dengan sengaja, hendaklah menempati tempat duduknya di
neraka.[3]
Tetapi
cerita-cerita Israiliyat ini dijadikan sebagai saksi, bukan untuk membantah. Dan
cerita Israiliyat itu terbagi menjadi tiga bagian:
1. Yang kita ketahui keshahihannya, sesuai dengan yang ada di tangan kita,
yang menyaksikan kebenaran. Dan itulah yang shahih.
2. Yang kita ketahui kebohongannya jika dibanding apa yang di tangan kita.
Atau yang berlawanan dengannya. Dan itulah yang harus ditolak,
3. Yang harus didiamkannya. Bukan bagian pertama dan bukan yang kedua. Maka
kita tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh mendustakannya. Kita boleh saja
menceritakannya namun pada umumnya tidak ada faedahnya dalam urusan
agama.
Apabila tidak kita jumpai tafsir-tafsir dalam Al-Quran, dan tidak dijumpai di
Hadits, juga tak ada di sahabat-sahabat Nabi SAW, maka pada umumnya para
mufassir mengembalikan kepada ucapan para tabi’in. seperti Mujahid bin Jabr.
Sesungguhnya dia adalah lambang dalam ilmu tafsir. Dia pernah berkata: “Aku baca
mushaf pada Ibnu Abbas tiga kali, dari Fatihahnya sampai akhirnya. Aku hentikan
pada setiap ayat, dan aku tanyakan tafsirnya kepadanya (Ibnu Abbas).” Karena itu
Sufyan Ats-Tsauri berkata, apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka
cukuplah itu bagimu.
Dan di
antara tabi’in ada lagi disebut Sa’id bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas,
‘Atho bin Abi Robah, Hasan Al-Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin
Al-Musayyab, Qotadah, dan Ad-Dhohhak, dan lain-lainnya di antara golongan
Tabi’in.
Perkataan mereka diambil dalam ayat-ayat, dan perbedaan
lafadh-lafadh.
Adapun
menafsirkan Al-Quran dengan pendapat murni (tanpa seperti yang tersebut) maka
hukumnya haram. Karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW:
من قال في القرأن برأيه أو بما لايعلم فليتبوأ مقعده من النار.
Man
qoola fil qur’aani bi ro’yihi au bimaa laa ya’lamu falyatabawwa’ maq’adahu minan
naar.
“Barangsiapa berkata mengenai Al-Quran dengan pendapatnya atau dengan
apa yang dia tidak tahu maka hendaknya ia menduduki tempat duduknya di
neraka.”[4]
من
قال
في
كتاب
الله
برأيه
فأصاب
فقد
أخطأ.
Juga
sabdanya: Man qoola fii kitaabil laahi bi ro’yihi fa ashooba faqod akhtho’.
Barangsiapa yang berkata mengenai kitab Allah dengan pendapatnya
(walaupun) benar (namun) salah.
Karena
dia telah memaksakan diri apa yang dia tidak tahu. Dan dia telah menempuh jalan
yang tidak diperintahkannya. Karena dia tidak mendatangkan perkara lewat
pintunya. Seperti orang yang menghukumi antara manusia dengan kebodohan, maka
dia dalam neraka.
Karena
itu, pada umumnya orang-orang salaf merasa dosa menafsirkan apa yang tidak
mereka ketahui ilmunya. Sehingga diriwayatkan dari Abu Bakar As-Shiddiq RA, dia
berkata:
أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني،
إذ أنا قلت في كتاب الله ما لا أعلم.
Ayyu samaa’in tudhillunii, wa ayyu ardhin
taqillunii, idz ana qultu fii kitaabillaahi maa laa
a’lamu.
Langit mana yang akan menaungi aku, dan bumi mana yang mau menyanggaku, apabila
aku berkata dalam kitab Allah, apa yang aku tidak tahu.
Anas bin Malik meriwayatkan dari Umar bin
Khatthab, sesungguhnya Umar membaca dari atas mimbar: (‘Abasa:31) yang namanya
buah-buahan dan rerumputan. Kemudian Umar berkata: Buah-buahan itu kita
mengenalnya, lalu rerumputan itu apa? Kemudian dia kembalikan kepada dirinya
sendiri, kemudian dia (Umar) berkata (pada dirinya), sesungguhnya ini adalah
memaksakan diri (wahai Umar).
Dari
sini, manqul ajaran H Nurhasan Ubaidah itu sangat berlainan, padahal
dalilnya sama. Itu tentu untuk mengarahkan anak buahnya supaya tidak belajar
kepada orang lain. Karena kalau belajar kepada orang lain maka akan ketahuan
kebohongannya.
Contoh manqul menurut Nur Hasan Ubaidah: Dalam Surat al- Isra’ ayat 71:
يوم ندعو فتيلا
yauma
nad’uu kulla unaasin bi imaamihim, faman uutiya kitaabahuu bi yamiinihii
faulaaika yaqrouuna kitaabahum walaa yudhlamuuna fatiilaa. (S 17: 71).
Menurut tafsir manqul H Ubaidah; Pada hari kami panggil setiap manusia
dengan imam mereka (maksudnya dengan Amir mereka),
sehingga yang tidak punya Amir maka masuk neraka.
Padahal kalau kita
kembalikan seperti penafsiran otentik yang dijelaskan di atas: makna imam;
pertama artinya: Al-Kitab lauh mahfudh ataupun kitab (catatan amal), sesuai
dengan Surat Yaasin ayat 12:
وكل شيئ
.................. مبين
Wakulla syaiin ahshoinaahu
fii imaamim mubiin.
Dan segala sesuatu Kami
kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Kemudian mari kita perhatikan bunyi ayat selanjutnya:
فمن ......................... بيمينه ......... فتيلا
Faman
uutiya kitaabahuu bi yamiinihii…..(QS 17:7)
“Dan
barang siapa yang diberi kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini
akan membaca kitabnya itu, dan tidak dianiaya sedikit pun.”
Di
Dalam Hadits diterangkan, setiap ummat akan didatangkan di hari qiyamat bersama
nabi/ Rasulnya masing-masing.
“Ditampakkan kepadaku (Muhammad) ummat-ummat sebelumku.
Ada seorang nabi datang diikuti beberapa orang antara tiga
sampai sembilan. Ada yang diikuti satu orang, dua orang, dan ada juga yang tiga
orang. Bahkan ada nabi yang datang sendirian tanpa pengikut satupun. Tiba-tiba
ditampakkan kepadaku golongan yang besar. Aku menyangka mereka adalah ummatku.
Tiba-tiba dikatakan, mereka adalah Musa dan ummatnya. Kemudian ditampakkan
padaku, golongan yang lebih besar lagi, dan dikatakan: lihat lah di ufuk sana,
lihatlah di ufuk sana, lihatlah di ufuk sana, semuanya penuh, dan dikatakan
kepadaku, mereka itulah ummatmu. Dari mereka akan masuk surga 70.000 orang tanpa
hisab, dan tanpa siksa sama sekali. Kemudian setelah para sahabat bertanya,
siapa mereka ya Rasulallah? Rasulullah menjawab, mereka adalah orang-orang yang
tidak minta suwuk (ruqyah/ jampi) dan tidak bertathoyyur (klenik, menganggap
suara-suara burung dsb sebagai alamat-alamat sial dsb), dan tidak berobat dengan
kei (jos dengan besi panas). Kemudian Ukasah bin Mishon berdiri dengan
melambai-lambaikan selimutnya. Ya Rasulallah, berdo’alah kepada Allah, supaya
Dia jadikan aku termasuk golongan mereka. Dan beliau jawab: “Ya, engkau masuk
golongan mereka.” Kemudian berdirilah orang berikutnya, berkata juga seperti
itu, dan Rasulullah menjawab, “Ukasah telah mendahuluimu dengannya.”[5]
Dari hadits ini jelas
bahwa setiap ummat di hari kiamat datang berasma imam, atau nabinya
masing-masing dan tidak menafikan mereka datang dengan membawa kitab catatan
amalnya masing-masing. Sedangkan H Ubaidah pendiri Islam Jama’ah yang kini
bernama LDII itu menafsirkan dengan tafsir yang lain, agar anak buahnya selalu
patuh kepadanya, yaitu keamirannya. Ketika ada yang tidak patuh maka ia tidak
diaku sebagai anak buahnya, dan dinyatakan di hari kiamat tidak punya imam, lalu
ditakuti dengan hadits mauquf (tidak sampai pada Nabi SAW) dari Umar bin
Khotthob (menurut mereka –karena kami mencari hadits itu tidak ketemu):
“Laa
islaama illaa bil jamaa’ah, walaa jamaa’ata illaa bil imaaroh, walaa imaarota
illa bil bai’ah, walaa bai’ata illaa bit thoo’ah” (menurut mereka riwayat Ahmad,
tetapi kawan-kawan telah mencari, hadits seperti itu tidak ditemukan).
Artinya:
“Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, dan tidak ada jama’ah, kecuali dengan
amir, dan tidak ada amir kecuali dengan baiat, dan tidak ada bai’at kecuali
dengan taat.”
Kemudian oleh dia (Ubaidah) dijelaskan dengan dibaca terbalik;
Jika
tidak taat amir maka lepas bai’atnya, jika lepas bai’atnya maka tidak punya
amir. Jika tidak punya amir, maka bukan jama’ah. Jika bukan jama’ah, maka bukan
Islam. Jika bukan Islam, maka apa namanya, kalau tidak kafir.
Sampai-sampai, kalau mereka memberi penjelasan tentang pentingnya jama’ah,
mereka katakan:
“Saudara-saudara sekalian, jika di antara saudara ada yang punya pikiran,
ada yang punya sangkaan bahwa di luar kita (di luar jama’ah Ubaidah) masih ada
yang akan masuk surga tanpa mengikuti kita, maka sebelum berdiri, saudara sudah
faroqol jama’ah (sudah terpisah dari jama’ah) sudah kafir, dia harus
taubat dan bai’at kembali. Jika tidak , maka dia akan masuk neraka selama-
lamanya.”
Contoh lagi: Dia (Ubaidah) menakut-nakuti jama’ahnya, jika tidak taat
amir satu peraturan saja, maka dia masuk neraka selama-lamanya, berdasarkan
surat Thoha ayat 74:
إنه من ................................................ ولا يحي
Innahuu man ya’tii robbahuu mujriman fa inna lahuu jahannama laa yamuutu
fiihaa wa laa yahyaa.
Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa,
maka sesungguhnya baginya neraka jahannam, dia tidak mati di dalamnya tidak
(pula) hidup di dalam neraka jahannam. (QS Thaha:
74).
Penafsiran Nurhasan
Ubaidah dengan mengaitkan amir pada ayat itu jelas penafsiran yang salah. Sebab
pada ayat berikutnya diterangkan:
ومن
................................................. العلى
Waman ya’tiihi mu’minan
qod ‘amilas soolihaati faulaaika lahumud darojatul ‘ula. Artinya: Dan
barangsiapa datang kepadaNya dalam keadaan beriman, lagi sungguh telah beramal
shaleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang
tinggi. (Thoha:75).
Berdasarkan dalil itu mujriman adalah
lawan kata dari mu’minan. Mujriman itu maknanya adalah orang yang
mati kafir, musyrik, atau munafiq. Karena hanya orang yang mati kafir, musyrik,
atau munafiq sajalah yang akan masuk neraka selama-lamanya, serta tidak hidup
dan tidak mati di dalamnya. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab syafa’at:
Adapun
ahli neraka yang mereka adalah penduduk neraka (kafir, musyrik, munafiq) mereka
tidak hidup dan tidak mati di dalamnya (lihat QS Al-Bayyinah: 6 , juga QS
An-Nisaa’ :145).
Adapun orang yang masuk neraka karena dosa-dosa mereka, mereka dimatikan
betul-betul di dalam neraka, sehingga ketika mereka sudah menjadi arang, maka
diizinkanlah syafa’at bagi mereka. Maka mereka dikeluarkan dari neraka, kelompok
demi kelompok, kemudian disebar di sungai surga, kemudian diperintahkan kepada
ahli surga, guyurlah mereka dengan air, maka mereka tumbuh menjadi manusia yang
kuning-kuning bagaikan kecambah (toge) yang tumbuh di lumpur banjir, kemudian
mereka dimasukkan ke dalam surga. (Silakan baca Tafsir Ibnu Katsir QS al-A’la:
(tsumma laa yamuutu fiihaa walaa yahyaa).
Contoh lain lagi, aturan Ubaidah yang memainkan agama.
Misalnya, panggilan pengajian jam 9. Umpama seorang pengikut datang jam 10, maka
dia harus bertobat. Dalam arti bertobat pakai surat pernyataan tobat, dengan 4
syarat:
1
Mengakui kesalahannya, telah tidak taat kepada amir.
2.
Merasa menyesal, kapok, tidak akan mengulangi lagi.
3.
Minta maaf dan membaca istighfar.
4
Sanggup menunaikan kafaroh (denda) yang ditentukan oleh Amir. Contoh kafaroh:
Umpama infaq yang ditentukan, atau disuruh melakukan apa saja yang diperintahkan
oleh Amir, bahkan pernah ada yang disuruh ambyur di kolam yang banyak
tainya.
Contoh, Pak Nasifan (pengikut Islam Jama’ah, kini telah keluar dan jadi imam
masjid di Surabaya) pernah disuruh ambyur/ mencebur dan menyelam ke air tai.
Juga Drs Nur Hasyim dihukum dengan disuruh ambyur ke kolam tai, dengan
jaket-jaketnya. Perkaranya, Nur Hasyim akan ke Makkah bersama Ahmad Subroto
ingin menanyakan kepada guru-guru di Makkah, benarkah (sah kah) keamiran H Nur
Hasan Ubaidah itu. Lalu Nur Hasyim dinyatakan salah, karena berprasangka jelek
kepada Amirnya, maka disuruh tobat dan dihukum ambyur ke air tai.
Saya
sendiri (kata Hasyim Rifa’i) pernah menghadiri undangan pengajian jam 8, tetapi
terlambat 15 menit. Kemudian saya dihukum kerja bakti. Yang seharusnya sudah
selesai jam 4 sore, maka harus kerja bakti sampai jam 11 malam. Di antaranya,
mengangkuti pasir, batu merah, mengaduk bahan bangunan dan sebagainya. Itu
kafarohnya (tebusan) dalam bertobat di samping surat
pernyataan.
Saya
berfikir, kok mirip sekali dengan orang Katolik yang membuat surat pengampunan
dosa, sampai timbul orang yang berprotes, hingga jadi protestan.
Kafaroh menurut Al-Quran dan Al-Hadits itu adalah berupa perbuatan baik atau
amal sholeh. Di antaranya: shodaqoh, seperti dalam QS At-Taubah: 103. Juga
puasa, sholat, zakat, dan jihad dll seperti dalam QS As-Shoff: 10-13. Juga dalam
hadits Rasulullah SAW: Dosa seseorang dalam keluarganya, hartanya, dan
tetangganya dihapuskan oleh sholat, puasa, dan shodaqoh.[6]
Jadi
dalam Islam sebenarnya tidak ada kafaroh yang bentuknya penyiksaan atau kerja
paksa. Namun hal itu dipaksakan di dalam Islam Jama’ah yang kini namanya LDII
itu.
Kesimpulannya, ajaran manqul model Ubaidah ini hanyalah untuk mengikat
anak buahnya agar tidak belajar ke orang lain. Sebab kalau belajar ke orang lain
akan ketahuan belangnya dan kebohongannya.
Kebohongan dalam masalah jama’ah dan
Bai’at:
Menurut Ubaidah, jama’ah adalah sekelompok orang muslim yang membaiat seorang
amir kemudian amir itu ditaati. Dan dia (Ubaidah) telah mengklaim bahwa
satu-satunya jama’ah yang sah sedunia adalah jama’ah dia. Karena dia
mengaku, sudah dibai’at sejak tahun 1941, di mana di waktu itu tidak ada seorang
pun yang sudah dibai’at sebagai Amir. Padahal menurut berita-berita, yang
pertama-tama dibai’at di Indonesia adalah Sukarmadji Maridjan Kartosuwiryo, yang
dibai’at tahun 1949 dengan DI TII dan NII-nya (Darul Islam, Tentara Islam
Indonesia, dan Negara Islam Indonesia). Kemudian karena oleh Bung Karno
(Presiden Soekarno) –SM Kartosuwiryo itu-- dianggap pemberontak, atau teroris,
maka Bung Karno menyuruh kawannya yang bernama Wali Al-Fatah untuk mendirikan
jama’ah tandingan dengan motto: Islam itu bukan pemberontak, bukan teroris,
tetapi Islam adalah rohmatan lil ‘alamin. Maka dibai’atlah Wali Al-Fatah
tahun 1954. Dan menurut pengakuannya, pembaiatannya diumumkan ke seluruh dunia
lewat Radio Singapur dan Australia.[7]
Pada
tahun 1960, Ali Rowi dari Jombang Jatim berkenalan dengan Wali Al-Fatah di
Petojo Jakarta. Dia cerita-cerita bahwa di Jawa Timur ada orang yang pintar
mengaji, tetapi tidak pernah menyebut-nyebut tentang bai’at, jama’ah, dan
keamiran. Namanya H Nur Hasan Ubaidah. Maka dengan perantaraan Ali Rowi inilah
kedua tokoh (Wali Al-Fatah dan H Nur Hasan Ubaidah) bertemu. Maka sesudah
dijelaskan oleh Wali Al-Fatah tentang wajibnya bai’at, jama’ah, dan keamiran,
dan terjadilah perdebatan yang seru maka akhirnya H Nur Hasan Ubaidah mengaku
kalah, dan kemudian dia menyatakan bai’at kepada Wali Al-Fatah. Dan sekaligus
dia (Ubaidah) diangkat oleh Wali Al-Fatah menjadi muballigh agung. Itu terjadi
tahun 1960.
Tidak
lama kemudian, dia (H Nur Hasan Ubaidah) mengadakan asrama (training, atau kini
namanya dikenal dengan daurah) di Gading Mangu, Kecamatan Perak, Jombang Jawa
Timur. Dan sebelum penutupan, dia menyampaikan satu wejangan (nasihat) kurang
lebihnya sebagai berikut:
“Saudara-saudara sekalian, saya akan menyampaikan sesuatu yang selama ini masih
saya sembunyikan. Dan saat inilah harus saya sampaikan.”
Kemudian dia (Ubaidah) terangkan wajibnya jama’ah, bai’at, dan keamiran. “Jika
tidak, kita semua akan masuk neraka. Tapi, siapa yang ia ingin jadi amir,
kemudian dijadikan amir, maka dia tidak akan mendapatkan baunya
surga.”
Mendengar penjelasan Ubaidah yang muballigh agung itu, maka semua peserta asrama
menangis, menghiba, dan minta supaya dia (Nur Hasan Ubaidah) mau dijadikan amir,
supaya semua tidak masuk neraka. Karena kalau tidak ada amir akan masuk neraka
semua.
Lalu
dia (Nur Hasan) berkata, kalau semua berkata begitu, ya terserahlah, saya
sanggup saja. Tapi saksikanlah, bahwa saya tidak ingin jadi amir.
Kemudian mereka berbai’at semuanya, dan legalah mereka.
Rupanya pembaiatan tersebut, beritanya sampai kepada Wali Al-Fatah, maka dia
(Ubaidah) dipanggil, dia dinyatakan salah, dan harus membuat pernyataan tobat.
Maka dia (Nur Hasan Ubaidah) pun membuat pernyataan tobat. Namun anehnya, surat
pernyataan tobat tersebut ditandai dengan silang, yang pada umumnya, tanda
silang berarti salah atau batal. Wali Al-Fatah bertanya: Mengapa ini kok
di-ping (disilangi)? Dia jawab: Inilah tanda tangan saya, yang
sah.[8] Rupa-rupanya anak buah Nur Hasan Ubaidah
dengar-dengar juga masalah ini. Mereka bertanya-tanya, kenapa Bapak sudah Bai’at
kepada Wali Al-Fatah, kok mendirikan jama’ah lagi. Maka dijawab oleh Ubaidah:
“Jama’ahnya Wali Al-Fatah itu tidak sah dengan dua alasan:
1. Ilmunya tidak manqul.
2. Tujuannya tujuan politik. Sedangkan yang benar adalah ingin masuk surga,
selamat dari neraka. Jadi yang sah adalah jama’ah kita ini.”
Hasyim Riufa’i melanjutkan kisahnya dengan berkomentar:
“Kalau sekarang diterangkan kisah ini kepada jama’ah mereka, maka mereka
menjawab: cerita ini terbalik. Wali Al-Fatah berabai’at kepada Nur Hasan
Ubaidah.”
Kesimpulannya, dia (H Nur Hasan Ubaidah) mengaku dibai’at
tahun 1941 itu bohong. Dia mengerti Bai’at itu baru tahun 1960 dari Wali
Al-Fatah seorang suruhan Soekarno, yang hal itu untuk menandingi Kartosuwiryo
yang dibai’at tahun 1949, yang kemudian Kartosuwiryo ditangkap, lalu ditahan.
Siapakah yang membai’at Nur Hasan Ubaidah? KH hasyim Rifa’i menyebutkan, di
antaranya:
1. Pak Lurah Bangi, Kecamatan Purwoasri Kediri.
2. H Sanusi adik kandung Nur Hasan Ubaidah
3. H Nur Asnawi iparnya, alamat Balung Jeruk, Kec Pelemahan Kediri. Namun
pada waktu diceritakan tahun 1970, dua orang pertama itu sudah
mati.
Sekarang
foto yang dipasang di mana-mana adalah foto Nur Hasan Ubaidah dan Foto H Asnawi,
dan setiap rumah orang LDII biasanya dipasang foto itu.
Kebohongan itu inti ajaran Islam Jama’ah/
LDII
Intinya, ajaran Islam Jama’ah yang kini bernama LDII itu adalah aliran yang
berlandaskan aneka kebohongan, baik dalam menafsirkan
ayat Al-Quran maupun menerapkan Hadits Nabi SAW, dan kelicikan dalam kehidupan
sehari-hari.
LDII itu adalah jelmaan
dari Lemkari, jelmaan dari JPID (Jajasan Pendidikan Islam Djama’ah), jelmaan
dari Darul Hadits yang sudah dilarang oleh Jaksa Agung Sugiharto tahun 1971, dan
dilarang oleh Pangdam Brawijaya Jatim tahun 1967.
Karena mereka menganggap
orang Islam di luar aliran mereka adalah bukan jama’ah dan bukan Islam, maka di
luar golongan mereka dianggap kafir; yang shalat dianggap kafir Ahli Kitab,
sedang yang tidak shalat dianggap sebagai orang musyrik. Kemudian mereka
memperlaukan Muslimin di luar mereka itu seperti memperlakukan terhadap orang
kafir atau Ahli Kitab. Contohnya, tidak boleh diberi salam. Alasannya,
Rasulullah kalau kirim surat kepada raja-raja kafir salamnya berbunyi:
Salaamun ‘alaa man ittaba’al hudaa. Jadi bukan Assalamu’alaikum.
Harta, darah, dan kehormatan
Muslimin selain golongan mereka dianggap halal, boleh diambil asal jangan
ketahuan. Jika ketahuan, maka harus tobat kepada amir. Bukan salah karena
mencuri, tetapi kenapa mencuri kok ketahuan. Karena mereka menggambarkan, semua
harta yang dimiliki oleh orang di luar jama’ah mereka itu seperti perhiasan yang
dipakai oleh harimau, yang sebetulnya harimau itu tidak pantas pakai perhiasan,
karena perhiasan itu untuk manusia, maka perhiasan tersebut boleh diambil, dan
tidak berdosa, asal jangan sampai diterkam.
Ini
kebohongan yang sudah luar biasa. Hal itu bisa dibandingkan dengan ajaran yang
dilakukan oleh Nabi SAW sebagai berikut:
Di
Dalam Hadits panjang tentang perjanjian Hudaibiyyah diceritakan oleh Mughiroh
bin Syu’bah (sahabat Nabi SAW). Rasulullah waktu itu mengadakan perjanjian, di
hadapannya ada Urwah bin Mas’ud sebagai wakil orang kafir, sedang Mughiroh bin
Syu’bah berdiri di belakang Rasulullah memakai topi baja, tangan kanannya
memegang pedang dan di tangan kirinya memegang sarung pedang.
Setiap kali Urwah bin Mas’ud berbicara dia memegang jenggot Rasulullah sebagai
rasa hormat. Tiba-tiba Mughiroh berkata:
“Tarik tanganmu itu dari jenggot Rasulullah.”
Maka
Urwah bin Mas’ud berkata: “Siapa kamu?”
Maka
Mughiroh menjawab: “Mughiroh bin Syu’bah”.
Urwah berkata: “Pengkhianat kamu! Bukankah aku sebagai kurban pengkhianatanmu?”
Dalam hadits itu diceritakan, bahwa Mughiroh berkafilah bersama orang-orang
kafir Makkah. Semua anggota kafilah dibunuh oleh Mughiroh bin Syu’bah dan semua
hartanya dijual, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk menyatakan Islam.
Maka Rasulullah menjawab:
أما الإسلام فأقبل. وأما المال
فلا حاجة لنا.
“Ammal Islaamu fa aqbalu.
Wa ammal maalu falaa haajata lanaa.”
“Pernyataan Islammu
aku terima, adapun harta itu kami tidak butuh.”[9]
Ini
menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah memperoleh harta
dengan cara pengkhianatan, kecuali dengan jalan perang, maka yang kalah menjadi
rampasan yang menang, sudah menjadi keputusan dari Allah langsung. (lihat QS
al-anfaal: 65):
فكلوا مما غنمتم حلالا طيبا
“Fakuuluu mimmaa ghonimtum halaalan
thoyyibaa;”
“ Maka makanlah ghonimah yang kamu dapatkan dari perang dengan halal lagi baik.”
“ Maka makanlah ghonimah yang kamu dapatkan dari perang dengan halal lagi baik.”
Ini
diselisihi benar-benar oleh Islam jama’ah/ LDII. Mereka boleh mencuri dan
khianat, dan takut berperang melawan orang kafir. Yang dilarang justru
dikerjakan, sedang yang disuruh justru ditinggalkan.
Bukti-bukti banyak. Yang mencuri dan tertangkap-basah banyak.
Dalam hal mempermainkan agama, aliran yang kini bernama LDII itu
memang terlalu berani. Contohnya, H Nur Hasan Ubaidah sebagai amir Islam Jama’ah
yang kini bernama LDII itu mengimami shalat. Dia beberapa kali mempraktekkan
sengaja kentut, memang sengaja dengan ngeden (sengaja dikeraskan)
hingga berbunyi “dut!!!” sambil ia menggerakkan pantatnya waktu duduk tahiyyat
akhir. Setelah para makmumnya tertawa sehabis shalat, H Nur Hasan justru
tertawa senang. Dia bangga dan senang kalau ditertawakan jama’ahnya dalam
keadaan seperti itu. Padahal, dia sendiri tahu bahwa hadits tentang bolehnya
kentut waktu duduk tahiyyat akhir yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi itu sudah
dijelaskan bahwa itu dha’if (lemah). Tetapi oleh H Nur Hasan Ubaidah
dipraktekkan dengan sengaja kentut keras-keras seperti itu, lalu tertawa
gembira setelah shalat. Ini kan sama dengan “hadits dha’if pun kalau Sang
Amir itu memberlakukannya maka dianggap shahih”. Ini ajaran yang jelas-jelas
tidak benar, masih disertai dengan tertawa bangga, lagi. Dan itu dilakukan bukan
hanya satu kali tapi beberapa kali dan di beberapa tempat di depan
jama’ahnya.[10]
[1] (HR Abu
Dawud).
[2] (HR Abu Daud).
[3] (HR
Al-Bukhari).
[4] (HR Ibnu jarir,
At-Tirmidzi, dan An-Nasaai.)
[5] (HR
Al-Bukhari).
[6] (Lihat HR Al-Bukhari,
bab puasa).
[7] (Periwayat, dari Pak
Yazid –Pare Jatim—, Pak Abu Bakar Baasyir dari Ngruki Solo, Abdullah Sungkar
Solo, juga Kiai Zainuddin Hamidi dari Cilengsi Bogor yang mengadakan ceramah di
Gurah Kediri Jawa Timur1990-an).
[8] (Cerita tersebut saya
–Hasyim Rifai—terima dari Zainuddin Hamidi Cilengsi
Bogor).
[9] (HR Al-Bukhari, dari riwayat yang
panjang).
[10] Demikianlah
pengalaman KH Hasyim Rifa’i, muballigh Al-Sofwa,
Yang
tinggal di Kediri Jawa Timur, yang dulunya menjadi da’i Islam Jama’ah (kini
namanya LDII) dan berkecimpung di sana 17 tahun, 1966-1983.
(KH
Hasyim Rifa’i kini menjadi da’i Yayasan Al-Sofwa Jakarta yang bertugas di Kediri
Jawa Timur).
Pewawancara: H Hartono Ahmad Jaiz
Tempat
wawancara: Kantor LPPI, Masjid Al-Ihsan Proyek Pasar Rumput Jakarta
Selatan.
Hari
dan tanggal: Malam Sabtu, 6 Dzul Qo’dah 1420H/ 11 Februari 2000M, saat KH Hasyim
Rifa’i mau menyampaikan makalahnya dalam seminar tentang kesesatan LDII di
Yayasan Pendidikan Sunan Bonang di Komplek Perumahan Dasana Indah dan Bumi Indah
Bojongnagka Legok Tangerang Jawa Barat, 12 Februari 2000M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar