Taubat dari Pelanggaran Hak-hak ManusiaManusia
Karena beratnya hak-hak manusia, dan
biasanya ia terjadi diiringi pertengkaran dan permusuhan, maka taubat dari dosa
ini dilakukan dengan dua cara: pertama ia mengembalikan hak itu kepada orangnya,
jika orang itu masih haidup, atau kepada pewarisnya, jika ia telah mati. Cara
kedua adalah dengan meminta dihalalkan olehnya, setelah ia memberitahukannya,
jika itu adalah hak harta, aniaya atas tubuhnya atau tubuh orang yang ia warisi.
Seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw:
"Barangsiapa yang telah melakukan
kezaliman kepada saudaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini
hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar
dan dirham, kecuali amal kebaikan dengan tanggungan dosa keburukan. (Hadits
diriwayatkan oleh Bukhari)
Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta
Orang yang memegang hak harta orang
lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada mereka, atau kepada ahli warisnya.
Jika ia tidak memiliki harta yang cukup untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk
mencari gantinya, sepanjang hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia
mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari
kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya. Barangsiapa yang menanggung
hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal dari perbuatannya itu, maka ia
harus mengembalikannya kepada para pemiliknya, atau kepada ahli
warisnya.
Kemudian, jika ia tidak mengetahui
mereka, atau mereka telah wafat, atau karena masalah lain, maka taubat dalam
kasus seperti ini berbeda aturannya:
Satu kelompok ulama berpendapat: tidak
ada taubat baginya, kecuali dengan mengembalikan kezaliman ini kepada para
pemiliknya. Jika ia tidak dapat melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia
raih. Dan nantinya pada hari kiamat, menanti balasan dengan diambilnya
kebaikannya untuk menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan
lain.
Mereka berkata: ini adalah hak manusia
yang tidak sampai kepadanya. Dan Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba untuk
dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan Dia menyampaikan hak masing-masing
orang kepada orang tersebut. Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman
manusia kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan mengambil
hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya, meskipuin itu sebuah
tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.
Mereka berkata: tindakan yang paling
mudah dilakukan untuk menutupi kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak
kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya pada hari kiamat nanti dengan
kebaikannya itu. Dan tindakan yang paling bermanfaat baginya adalah bersabar
atas kezaliman dan aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan
qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya. Hendaklah ia tidak
meminta haknya dari mereka di dunia, serta tidak menemuinya, sehingga musuhnya
itu akan menutupi kekurangan timbangannya nanti di akhirat, jika memang
kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil kebaikannya untuk membayar
kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang lain, maka iapun akan dibayarkan
dari orang lain atas kezaliman yang dilakukan mereka kepadanya. Sehingga
diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau malah akan menambah
timbangannya.
Kemudian mereka berselisih pendapat
tentang orang yang memegang uang yang didapatkan dari hasil
kezaliman.
Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia
tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama
sekali.
Sekelompok ulama yang lain berkata:
hendaknya ia berikan uang tersebut kepada imam atau pejabat yang berwenang,
karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia menyimpankannya untuk mereka.
Dan hukum harta itu menjadi harta yang ditemukan dijalan
(luqathah).
Sementara sekelompok ulama yang lain
berkata: pintu taubat masih terbuka bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh Allah
SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat orang ini adalah dengan
mensedekahkan harta itu kepada orang-orang yang berhak, seperti kepada para
fakir-miskin, orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan untuk
kepentingan kaum muslimin.
Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad
fi sabilillah dan pusat-pusat dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak,
maka para pemilik uang dapat memilih antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu,
dan pahala sedekah itu untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga
mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang mereka, dan pahala sedekah
itu untuknya sendiri. Karena Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu.
Dan Allah SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan. Kemudian
dimintakan kepadanya, dan Allah SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka,
atau juga dengan mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk
diberikan kepada orang yang pernah dizhaliminya itu.
Ibnu Qayyim berkata:
Ini adalah mazhab sekelompok shahabat, seperti diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Hajjaj bin Sya'ir.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membeli
seorang hamba sahaya wanita dari seseorang, kemudian ia masuk untuk menimbang
harganya, namun ketika ia kembali pemilik budak itu telah pergi, dan iapun
menunggunya hingga ia lemas menunggu, maka iapun mensadaqahkan harga itu dan
berkata: ya Allah, sadaqah ini bagi pemilik hamba sahaya ini, jika ia
merelakannya maka pahala sadaqah itu untuk saya, dan jika ia tidak rela maka
pahalanya untuk saya, dan ia dapat mengambil dari kebaikan saya sesuai dengan
haknya.
Seorang laki-laki telah berlaku curang
terhadap ghanimah, kemudian ia bertaubat, dan membawa ghanimah yang telah ia
curi itu kepada kepala tentara, namun ia menolak untuk menerimanya, dan berkata:
"bagaimana aku dapat menyampaikannya kepada seluruh tentara itu, padahal mereka
telah berpencar dan pulang ke rumah masing-masing?" Kemudian orang itu
mendatangi Hajjaj bin Sya'ir, dan ia pun berkata kepadanya: "Hai bung,
sesungguhnya Allah SWT mengetahui tentara itu serta nama mereka dan keturunan
mereka. Maka berikanlah seperlima harta itu kepada orang-orang yang berhak
atasnya, kemudain sedekahkan sisanya dan pahalanya diniatkan untuk mereka,
karena Allah SWT akan menyampaikan itu kepada mereka", dan orang itupun
melakukan nasehat itu. Ketika Mu'awiyah diberitahukan tentang hal itu ia
berkata: "aku berfatwa dengan fatwa itu lebih aku senangi dari pada setengah
kerajaanku!"
Mereka berkata: demikian juga halnya
dengan barang temuan jika tidak ditemukan pemiliknya, setelah diumumkan,
sementara ia tidak ingin memilikinya, maka ia dapat mensedekahkannya, dan jika
kemudian datang pemiliknya ia dapat memberikan pilihan antara mendapatkan
pahalanya atau diganti.
Mereka berkata: hal ini karena, dalam
syari'ah, orang yang tidak diketahui dianggap seperti orang yang tidak ada. Jika
pemiliknya tidak ada maka itu seperti tidak ada pemiliknya. Ini berkaitan dengan
harta yang tidak diketahui siapa pemiliknya dengan pasti. Sementara harta itu
tidak boleh disia-siakan. Karena itu akan menciptakan mudarat bagi pemiliknya,
para fakir-miksin, dan orang yang berada dalam tanggungannya. Bagi pemiliknya,
itu akan membuat mudarat baginya karena manfaatnya tidak sampai kepadanya.
Demikian juga bagi para fakir miskin. Sedangkan bagi orang yang berada dalam
tanggungannya: karena ia tidak dapat membebaskannya dari dosanya, sehingga ia
dituntut diakhirat tanpa mengambil manfaat darinya, dan itu tidak dibenarkan
oleh syari'ah, apalagi sampai memerintahkannya dan mewajibkannya. Karena
syari'ah berdasarkan pada "menghasilkan" kemaslahatan sedapat mungkin dan
menyempurnakannya. Serta menahan kemafsadatan sedapat dan sedikit mungkin.
Dengan menyia-nyiakan uang itu, tidak memanfaatkannya dan melarang orang untuk
mempergunakannya adalah kemafsadatan yang jelas, dan tidak ada kemaslahatan sama
sekali.
Seperti diketahui --sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Qayyim-- orang yang tidak mendapatkan hartanya yang
seharusnya menjadi miliknya di dunia, tentu ia akan amat senang ketika
mendapatkan manfaat dari hartanya itu di akhirat. Tentu ia akan amat tidak
senang jika ia kemudian tidak dapat memanfaatkan hartanya itu di dunia dan
akhirat. Jika pahala hartanya itu sampai di akhirat, tentu kebahagiaannya akan
lebih dari pada kebahagiaannya saat mendapatkannya di dunia. Maka mengapa ada
yang berpendapat: maslahat tidak mempergunakan harta ini -- bagi orang yang
telah meninggal, orang-orang miskin dan orang-orang yang berada dalam
tanggungannya-- lebih besar dari maslahat menginfakkannya secara syar'i? Bahkan
apa maslahatnya bagi agama atau dunia dalam penyia-nyiaan harta tersebut?
Bukankah tindakan penyia-nyiaan itu semata suatu kemafsadatan?
Ibnu Taimiah pernah ditanya seorang tua:
"aku lari dari tuanku saat aku berusia kecil, dan hingga saat ini aku tidak
mendengar khabarnya lagi. Aku adalah seorang hamba sahaya, dan takut terhadap
azab Allah SWT atas perbuatanku itu. Aku ingin terbebas dari hak tuanku atas
diriku. Aku telah bertanya kepada sekelompok mufti, dan mereka berkata kepadaku:
pergilah dan duduklah di gudang!" Mendengar hal itu Ibnu Taimiah tertawa dan
berkata: "hendaklah engkau bersedekah --sebisa dan sedapat mungkin -- dan
pahalanya untuk tuanmu itu, dan engkau tidak perlu ke gudang, duduk tanpa
menghasilkan manfaat, serta memberi mudarat bagi engkau, serta menghalangi
maslahat engkau. Sedangkan tuanmu juga tidak mendapatkan manfaat dari tindakanmu
berdiam di gudang itu, juga tidak bagimu dan bagi kaum muslimin. Wallahu a'lam."
(Lihat: Madarij as Salikin: 1/387 - 390).
Orang-orang yang Mendapatkan Uang dari Transaksi yang Haram
Masalah ketiga: jika ia memperoleh uang
dari orang lain dengan cara yang haram, dan saat itu ia memegang uang tersebut
-&endash;seperti uang yang didapatkan oleh seorang pelacur dari
langganannya, seorang penyanyi dari hasil nyanyiannya, penjual khamar dari
pembelinya, orang yang memberikan saksi palsu dari penyogoknya, dan semacamnya--
kemudian ia taubat, dan uang yang ia dapatkan dengan cara haram itu masih berada
pada dirinya; kemana seharusnya ia berikan uang tersebut?
Satu kelompok ulama berkata: uang agar
dikembalikan kepada orang yang memberikannya semula, karena itu memang hartanya,
dan ia tidak dapat memilikinya dengan izin dari Allah SWT, dan pemberinya pun
tidak mendapatkan manfaat yang halal dari uang yang ia berikan
itu.
Satu kelompok ulama lainnya berkata:
taubatnya adalah dengan bersedekah dengan harta itu, dan ia tidak memberikannya
kepada orang yang telah memberikannya. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih
oleh syeikh IbnuTaimiah, dan itu adalah pendapat yang paling bagus. Karena jika
ia tetap memegangnya, seharusnya uang itu ia dapatkan dari pemberinya sebagai
pemberian tanpa pamrih dan suka rela, bukan sebagai pembayaran sesuatu yang
haram. Lantas bagaimana mungkin ia mengembalikan uang itu kepada si pemberinya,
yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang itu untuk bermaksiat kepada Allah
SWT, dan mengembalikannya uangnya itu kepadanya akan membantunya untuk
melakukannya untuk kedua dan ketiga kalinya? Bukankah itu berarti membantunya
untuk melakukan dosa dan pelanggaran syari'at? Apakah sesuai dengan kebaikan
syari'at jika: para pelacur diperintahkan untuk mengembalikan seluruh
penghasilannya yang ia dapatkan dari pelacuran kepada para lelaki hidung belang
yang pernah mengajaknya tidur dan membayarnya, dan si hidung belang
diperbolehkan untuk mengambil kembali uang itu dari si pelacur dengan cara
baik-baik maupun paksaan?
Katakanlah harta itu tidak dimiliki
orang yang mengambilnya, namun kepemilikan si pemiliknya yang pertama telah
hilang ketika ia memberikannya kepada orang yang bertransaksi dengannya secara
haram itu, dan ia pun sudah mendapatkan apa yang ditransaksikan itu. Lantas
bagaimana mungkin setelah itu ada yang mengatakan bahwa kepemilikkan si orang
pertama itu masih tetap ada dalam harta itu, dan uang itu harus dikembalikan
kepadanya? Ini berbeda halnya jika ia mensedekahkan uang tersebut. Karena ia
mendapatkan uang itu dari pemiliknya dengan suka rela, dan pemiliknya itu pun
bisa tidak keberatan jika uang itu kemudian ia sedekahkan, dan tidak
dikembalikan kepadanya. Dengan demikian, dalam kasus seperti ini, cara yang
paling benar adalah: agar harta tersebut dipergunakan untuk suatu kemaslahatan
yang dapat diambil manfaatnya oleh orang yang memegangnya, dan dapat mengurangi
dosanya, yakni dengan mensedekahkannya, dan tidak digunakan untuk membantu si
pembuat dosa untuk melakukan perbuatan dosanya. Dengan begitu, berarti ia telah
mencapai dua kemaslahatan sekaligus.
Demikianlah taubat orang yang hartanya
bercampur antara yang halal dan haram, yang keduanya tidak dapat ia bedakan:
yaitu dengan mensedekahkan kadar harta yang haram yang berada padanya, dan
menggunakan harta sisanya yang halal untuk dirinya. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar