Ruwatan dan Do'a Antar Agama,
Merusak Agama |
Terus terang ketika
ada berita bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan diruwat, saya langsung teringat
zaman PKI (Partai Komunis Indonesia) sebelum peristiwa pemberontakan G30S/PKI
1965. Karena setahu saya adanya ruwatan itu hanya di daerah-daerah PKI atau
kalangan orang abangan (Islam tak shalat) di Jawa. Sedang desa-desa yang
masyarakatnya Islam tidak pernah melaksanakan ruwatan. Meskipun tidak
otomatis ruwatan itu identik dengan PKI, namun timbul pertanyaan, apakah Gus
Dur mewarisi ajaran ruwatan itu dari gurunya, Ibu Rubiyah yang memang
Gerwani/PKI perempuan? Wallahu a'lam. (Tentang guru Gus Dur di antaranya orang
Gerwani itu lihat buku “Bahaya Pemikirian Gus Dur II, Menyakiti Hati Umat”,
Pustaka Al-Kautsar, 2000).
Ruwatan itu sendiri
tidak terdengar di masyarakat sejak dilarangnya PKI tahun 1965. Namun
mulai terdengar lagi sejak 1990-an, setelah dukun-dukun berani muncul
terang-terangan bahkan praktek di mall-mall atau pusat-pusat perbelanjaan
dan membuat paguyuban yang mereka sebut PPI (Paguyuban Paranormal
Indonesia).
Konon anggota
paguyuban "wali syetan" (istilah hadits Nabi Muhammad SAW untuk dukun) itu
60.000 dukun. Meskipun demikian, istilah ruwatan tidak begitu terdengar
luas, dan baru sangat terdengar ketika ada khabar bahwa Gus Dur, Presiden
Indonesia ke-4 yang bekas ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, satu
organisasi yang berdiri sejak zaman Belanda 1926) akan diruwat, dan kemudian
dia benar-benar hadir dalam acara ruwatan di UGM (Universitas Gajah Mada)
Yogya,18/8 2000.
Apa itu
ruwatan?
Ruwatan adalah satu
upacara kepercayaan yang diyakini sebagai membuang sial yang disebut sukerto
alias penderitaan. Istilah ruwatan, artinya membebaskan ancaman dari
marabahaya yang datangnya dari Batoro Kolo, raksasa pemakan manusia, anak
raja para dewa yakni Batoro Guru. Batoro Kolo adalah raksasa buruk jelmaan
dari mani Batoro Guru yang berceceran di laut, ketika gagal bersenggama
dengan permaisurinya, Batari Uma, ketika bercumbu di langit sambil
menikmati terang bulan, karena Batari Uma belum siap.
Karena Batoro Guru
gagal mengendalikan diri "dengan sang waktu" (kolo) maka mani yang tercecer
di laut dan menjadi raksasa buruk itu disebut Batoro Kolo, pemakan manusia.
Lalu Batoro Guru berjanji akan memberi makan enak yaitu manusia yang
dilahirkan dalam kondisi tertentu. Seperti kelahiran tanggal sekian yang
menurut perhitungan klenik (tathoyyur) akan mengalami sukerto alias
penderitaan.
Juga yang lahir
dalam keadaan ontang-anting (tunggal), kembang sepasang (dua anak lelaki semua
atau perempuan semua), sendang apit pancuran (pria, wanita, pria), pendowo limo
(5 anak pria semua). Dll. (Lihat AM Saefuddin, “Ruwatan dalam Perspektif
Islam”, Harian Terbit, Jum'at 11 Agustus 2000, hal 6).
Itulah orang-orang yang
harus diruwat menurut kepercayaan daricerita wayang. Padahal, cerita wayang
itu semodel juga dengan cerita tentang Pendeta Durno yang menyetubuhi kuda
lantas lahirlah Aswotomo. Konon Durno diartikan mundur-mundur keno/kena, jadi
dia naik kuda betina lantas mundur-mundur maka kenalah ke kemaluan kuda,
akhirnya kuda itu melahirkan anak manusia. Hanya saja anak yang lahir dari
kuda ini diceritakan tidak jadi raksasa dan tidak memakan manusia. Jadi,
nilai cerita ruwatan itu sebenarnya juga hanya seperti nilai cerita yang dari
segi mutunya saja sangat tidak bermutu, seperti anak lahir dari rahim kuda itu
tadi. Upacara ruwatan itu bermacam-macam. Ada yang dengan mengubur seluruh
tubuh orang/anak yang diruwat kecuali kepalanya, ada yang disembunyikan di
tempat tertentu dsb.
Adapun Ruwatan yang
dilakukan di depan Gedung Balairung Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Jum'at
malam 18/8 2000 itu dihadiri Presiden Abdurrahman Wahid didampingi
isterinya Ny Nuriyah dan putri sulungnya Alissa Qatrunnada Munawaroh. Selain
itu tampak hadir pula Kapolri Jenderal Rusdihardjo (belakangan, 3 bulan
kemudian Rusdihardjo dipecat dari jabatannya sebagai Kapolri oleh Gus Dur, konon
karena ada berita bocor yang menyebutkan hasil penyidikan kasus Bruneigate yang
diduga menyangkut Presiden Gus Dur), Rektor UGMIchlasul Amal, Sri Sultan
Hamengku Buwono X, Sri Edi Swasono, dan Frans Seda.
Ruwatan itu
dilaksanakan terhadap 11 orang akademisi disebut ruwatan bangsa,
penyelenggaraannya diketuai Mayjen (purnawirawan) Hariyadi Darmawan. Mereka
yang diruwat itu adalah Prof. Sayogya, Prof Kunto Wibisono, Dr Hariadi
Darmawan, Tjuk Sukiadi, Prof Sri Edi Swasono, Ny Mubyarto, Bambang
Ismawan, Nanik Zaenudin, Ken Sularto, Amir Sidharta, dan
Wirawanto.
Sebelas orang yang
diruwat itu bersarung putih. Kumis dan jenggotnya dicukur bersih, kemudian
tubuhnya disiram dengan air kembang. (lihat Rakyat Merdeka, 19/8
2000).
Sementara itu di luar
Gedung UGM telah berlangsung demonstrasi mahasiswa yang menentang ruwatan
tersebut.
Itulah acara ruwatan
untuk menghindari Batoro Kolo dengan upacara seperti itu dan wayangan.
Biasanya wayangan itu untuk memuji-muji Batoro Kolo, agar terhanyut dengan
pujian itu, dan lupa memangsa. Di UGM itu wayangan dengan lakon Murwokolo
dan Sesaji Rojo Suryo oleh dalang Ki Timbul Hadiprayitno.
Kemusyrikan
Ruwatan itu ada
yang menyebutnya adat, ada pula yang menilainya sebagai kepercayaan. Islam
memandang, adat itu ada dua macam, adat yang mubah (boleh) dan adat yang haram.
Sedang mengenai kepercayaan, itu sudah langsung haram apabila bukan termasuk
dalam Islam.
Adat yang boleh
contohnya blangkon (tutup kepala) untuk orang Jawa. Itu tidak dilarang dalam
Islam. Tetapi kemben, pakaian wanita yang hanya sampai dada bawah leher,
itu haram, karena tidak menutup aurat. Tetapi kalau dilengkapi dengan
kerudung, menutup seluruh tubuh dan juga menutup rambut kepala, maka tidak
haram lagi, jadi boleh. Hanya saja namanya bukan kembenan lagi
Adat yang boleh,
seperti blangkon tersebut pun, kalau di samping sebagai adat masih pula
diyakini bahwa akan terkena bahaya apabila tidak memakai blangkon (yang
kaitannya dengan kekuatan ghaib) maka sudah menyangkut keyakinan/
kepercayaan, hingga hukumnya dilarang atau haram, karena tidak sesuai dengan
Islam. Keyakinan yang dibolehkan hanyalah yang diajarkan oleh
Islam.
Demikian pula ruwatan,
sekalipun ada yang mengatakan bahwa itu merupakan adat, namun karena
menyangkut hal ghaib, berkaitan dengan nasib sial, bahaya dan sebagainya;
maka jelas merupakan keyakinan batil, karena Islam tidak mengajarkan seperti
itu.
Sedang keyakinan
adanya bala' akibat kondisi dilahirkannya seseorang itupun sudah merupakan
pelanggaran dalam hal keyakinan, yang dalam Islam terhitung syirik, menyekutukan
Allah SWT, sedang orangnya disebut musyrik, pelaku durhaka terbesar dosanya.
Tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya keyakinan itu, namun justru
ketegasan bahwa meyakini nasib sial dengan alamat-alamat seperti itu adalah
termasuk tathoyyur, yang hukumnya syirik, menyekutukan Allah SWT; dosa
terbesar.
Tathoyyur atau Thiyaroh
adalah merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung,
binatang lainnya, atau apa saja.
Abu Dawud
meriwayatkan hadits marfu' dari Ibnu Mas'ud ra: "At-thiyarotu syirkun,
at-thiyarotu syirkun wamaa minnaa illa, walaakinnallooha yudzhibuhu
bittawakkuli."
"Thiyarah adalah
syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari antara kita kecuali
(telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah
menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya." (Hadits Riwayat Abu Daud).
Hadits ini diriwayatkan
juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih, dan kalimat terakhir tersebut
dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas'ud. (Lihat Kitab Tauhid oleh Syaikh
Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, cetakan I, 1416H/ 1995,
halaman 150).
Imam Ahmad
meriwayatkan hadits dari Ibnu 'Amr bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang
mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik." Para
sahabat bertanya: "Lalu apakah sebagai tebusannya?" Beliau menjawab: "Supaya
mengucapkan: Allahumma laa khoiro illaa khoiruka walaa thoiro illaa thoiruka
walaa ilaaha ghoiruka.”
Ya Allah, tiada
kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari
Engkau, dan tiada sembahan yang haq selain Engkau." (HR Ahmad). (Syaikh
Muhammad At-Tamimi, Kitab Tauhid, hal 151).
Sedangkan meminta
perlindungan kepada Betoro Kolo agar tidak dimangsa dengan upacara ruwatan
dan wayangan itu termasuk kemusyrikan yang dilarang dalam
Al-Qur'an:
"Dan janganlah kamu
memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula
mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya
kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)." (Yunus/
10:106).
Dhalim di ayat ini
diartikan musyrik, karena kemusyrikan itu adalah sebesar-besar kedhaliman.
(Lihat Al-Ustadz Dr Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Wajiiz, Darul Fikr, Dimasyq
-Suriyah, cetakan I, 1415H, halaman 221)
“Dan jika Allah
menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya
selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak
ada yang dapat menolak karunia-Nya..." ( Yunus: 107).
Setelah kita
membicarakan tentang ruwatan ,maka sebelum kita membicarakan tentang do'a antar
agama perlu kita tengok bagaimana keadaan masyarakat Indonesia dalam hal
kepercayaan mereka mengenai hal-hal yang menyangkut kemusyrikan. Berikut ini
kita simak berita singkatnya:
Hasil Riset: Sebagian
Besar Masyarakat Indonesia Percaya Jimat dan Perdukunan
Riset dan survey
tentang Akhlaq (Moral) Iman kepada Tuhan versus Kepercayaan kepada Kekuasaan
Ghaib selain Tuhan, dilakukan oleh Yayasan Nusantara, lembaga swadaya masyarakat
yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan rakyat. Hasilnya
disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memang mengalami permasalahan yang sangat
mendasar yaitu terjerumus dalam immoralitas.
Survei dilakukan pada
20 Juni hingga 20 Juli 2000, dengan melibatkan 500 responden yang dipilih acak
dari seluruh Indonesia melalui telepon. Salahsatu temuan dari hasil survei itu
adalah 100 persen anak bangsa Indonesia sesungguhnya anak bangsa yang religius
dan mengikuti suatu ajaran agama tertentu.
Dari survei terlihat
bahwa responden memang percaya kepada hal-hal yang bersifat gaib. Tercatat
sebagian besar responden yaitu 64 persen mengaku percaya dan mempunyai hubungan
atau pernah punya hubungan dengan praktek perdukunan, santet, klenik, pelet atau
susuk. Sedangkan yang tak pernah punya hubungan dengan hal-hak demikian
sebanyak 21,6 persen,
Dan yang percaya namun
tidak mau telibat dalam praktek tersebut mencapai 14,4 persen.
Yang memprihatinkan
lagi, sebagian besar dari responden nyatanya sangat percaya dengan perdukunan,
pergi ke kubur-kubur dan tempat yang dikeramatkan, ke peramal dan meyakini
kebenaran horoskop.
Sebanyak 50,2 persen
dari 500 responden mengaku bahwa hal-hal demikian mereka jadikan landasan
berfikir, bertindak dan menentukan sikap dalam kegiatan
sehari-hari.
Responden yang juga percaya dan yakin namun tidak memiliki keinginan untuk terlibat sebagai pelaku sebanyak 4,8 persen
Sedangkan yang sama sekali tidak percaya dengan hal-hal demikian sebanyak 45 persen.
Responden yang juga percaya dan yakin namun tidak memiliki keinginan untuk terlibat sebagai pelaku sebanyak 4,8 persen
Sedangkan yang sama sekali tidak percaya dengan hal-hal demikian sebanyak 45 persen.
Dari survei ini juga
terungkap bahwa masyarakat Indonesia sangat mempercayai jimat atau benda yang
disakralkan. Dari 500 responden sebanyak 63 persen menyatakan percaya bahwa
jimat-jimat atau benda-benda yang disakralkan lainnya benar-benar memiliki
khasiat kegaiban dan manfaat tertentu.
Sedangkan yang ragu
mencapai 5,8 persen.
Yang tidak percaya sebanyak 33,6 persen.
Yang tidak percaya sebanyak 33,6 persen.
Dari penjelasan survei
di atas terlihat bahwa masyarakat Indonesia memang mulai kehilangan kepercayaan
dan semakin jauh dari Tuhan. Yang muncul justru sifat syirik dengan menjadikan
jimat-jimat sebagai 'Tuhan". Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bangsa
Indonesia yang mayoritas Muslim yang sesungguhnya merupakan bangsa religius.
(mag). (Republika, Jum'at 4 Agustus 2000, halaman 16).
Demikianlah gambaran
masyarakat Indonesia secara sekilas mengenai kepercayaan yang menyangkut
kemusyrikan. Selanjutnya mari kita bahas tentang do'a antar agama.
Do'a Antar Agama
Merusak Agama
Di samping ada
ruwatan, ada pula gejala "baru" berupa acara do'a bersama antar berbagai
agama dan keyakinan. Bahkan ada upacara "Indonesia Berdoa" yang
diselenggarakan di Senayan Jakarta, Agustus 2000, terdiri dari berbagai
macam agama, diprakarsai oleh KH Hasyim Muzadi ketua umum PBNU. Sebelum ada
upacara "Indonesia Berdo'a" antar berbagai agama dan keyakinan, sudah dikenal
umum bahwa Dr Said Aqiel Siradj dari NU (Nahdlatul Ulama) dan Istri Gusdur (Siti
Nuriyah) melakukan do'a bersama orang-orang dari bermacam-macam agama
itu.
Bolehkah itu dilakukan
menurut syari'at Islam, mari kita kaji.
Pengertian dan
fungsi do'a
Do'a adalah
permintaan hamba kepada Allah SWT, dan itu merupakan suatu ibadah. Allah
SWT berfirman:
"Dan Tuhanmu
berfirman: 'Berdo'alah kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan bagimu." (QS 40
Al-Mu'min: 60).
Penegasan Nabi SAW,
do'a itu ibadah:
"Ad-Du'aau huwal
'ibaadatu," tsumma qoola: Qoola Robbukum "Ud'uunii astajib lakum".
"Do'a itu ialah
ibadah," kemudian Nabi SAW membaca firman Allah: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya
akan Kukabulkan bagimu." (HR Abu Dawud).
Adab berdo'a
Ada ayat-ayat
Al-Quran dan Hadits Nabi SAW yang memberikan tuntunan adab berdo'a.
1. Merendahkan diri
dan bersuara lembut. Allah SWT berfirman:
"Serulah Tuhan kamu
dengan merendahkan diri dan suara yang lembut, karena sesungguhnya Dia tidak
suka kepada orang-orang yang melewati batas." (QS Al-A'raaf: 55).
Allah SWT memuji
hamba-Nya, Nabi Zakaria, dengan firman-Nya:
“Tatkala ia berdo'a
kepada Tuhannya dengan suara yang lembut." (QS 19 Maryam: 3).
2. Menghindari
bersuara keras dalam berdzikir dan berdo'a.
"Ayyuhan naasu irba'uu
'alaa anfusikum fainnakum laa tad'uuna ashomma walaa ghooiban innakum tad'uuna
samii'an qoriiban wahuwa ma'akum."
"Wahai ummat manusia,
kasihanilah dirimu dan rendahkanlah suaramu, kamu tidak menyeru Tuhan yang
tuli atau yang gaib (jauh), sesungguhnya kamu menyeru Tuhan yang Pendengar,
dekat, dan Dia menyertai kamu." (Hadits Muttafaq 'alaih). (Tentang Dia menyertai
kamu, itu baca buku ini pada bab yang membahas "ma'iyah Allah", kebesertaan
Allah, yang maknanya Allah bersemayam di atas 'arsy, menyertai kita namun bukan
berarti Dia berada di bumi).
3. Disertai iman dan
amal shaleh
"Dan Dialah yang
menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan
mengetahui apa yang kamu kerjakan, dan Dia mengabulkan (do'a) orang-orang yang
beriman serta mengerjakan amal yang shalih dan menambah (pahala) kepada mereka
dari karunia-Nya.Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka adzab yang sangat
keras." (QS 42 As-Syuura: 25, 26).
4. Makanan,
minuman, dan pakaiannya dari hasil yang halal.
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
"Wahai manusia,
sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik, dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu'min dengan apa-apa yang
diperintahkan oleh para rasul. Maka Dia berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah
dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mukminuun: 51).
Dan Dia berfirman: Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik, yang Kami
berikan kepadamu. (Al-Baqarah: 172).
Kemudian Nabi
menyebutkan seorang laki-laki yang telah berkelana jauh dengan rambutnya yang
kusut masai dan pakaian yang penuh debu, ia menengadahkan tangannya ke langit
sambil berdo'a; Ya Allah, Ya Allah, sedang makanannya dari yang haram,
pakaiannya dari yang haram, dan dibesarkan dengan makanan haram, bagaimana Allah
mengabulkan do'anya itu? (HR Muslim nomor 2301).
5. Keyakinannya
tanpa ragu.
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Laa yaquulanna
ahadukum: Alloohummaghfir lii in syi'ta, Alloohummarhamnii in syi'ta, liya'zamal
mas'alata fainnahu laa mukriha lahu."
"Janganlah salah
seorang dari kamu mengatakan: "Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki,
ya Allah rahmatilah aku jika Engkau menghendaki", tetapi hendaklah berkeinginan
kuat dalam permohonannya itu karena sesungguhnya Allah tiada sesuatu pun yang
memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu." (HR Abu Daud).
6. Tidak
membangkit-bangkit (bahasa Jawa: mengundat-undat) Allah ketika do'a belum
terkabul.
Rasulullah saw
bersabda:
"Yustajaabu li ahadikum
maalam yu'ajjil yaquulu: qod da'autu Robbii falam yastajib lii."
"Do'a seseorang akan
dikabulkan (oleh Allah) selama orang itu tidak tergesa-gesa (ingin dikabulkan),
yaitu dengan mengatakan: "Saya telah berdo'a tetapi do'a itu belum juga
dikabulkan Tuhan untukku"." (Muttafaq 'alaih).
7. Jangan
mendo'akan jelek kepada diri sendiri, anak-anak, dan harta, sekalipun sedang
marah, karena Rasulullah saw mengkhawatirkan do'a itu bertepatan dengan waktu
Allah menerima atau mengabulkan do'a dari hambaNya. Nabi saw
bersabda:
"Laa tad'uu 'alaa
anfusikum walaa tad'uu 'alaa aulaadikum, walaa tad'uu 'alaa amwaalikum, laa
tuwaafiquu minalloohi sa-'atan yas'alu fiihaa 'ithooan fayastajiibu
lakum."
"Janganlah kamu
mendo'akan buruk (celaka dsb, pen) terhadap dirimu, jangan kamu mendo'akan buruk
terhadap anak-anakmu, dan jangan kamu mendo'akan buruk terhadap harta bendamu!
Jangan sampai nanti do'amu itu bertepatan dengan suatu saat dimana Allah sedang
memenuhi permohonan, hingga do'a burukmu itu benar-benar terkabul." (HR
Muslim).
Masalah do'a antar
agama
Dalam Al-Quran dan
Hadits, do'a bersama antara mu'minin (Nabi dan ummat Islam) di satu pihak, dan
Ahli Kitab ataupun musyrikin di lain pihak; justru merupakan do'a ancaman,
saling melaknat untuk adu kebenaran, yang disebut mubahalah.
Mubahalah ialah
masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat, berdo'a kepada
Allah dengan bersungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak
yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi
mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW.
(Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 1 hal 628).
Perintah do'a itu
kalau ditujukan kepada Ahli Kitab justru berupa ancaman, bahkan
mubahalah.
Katakanlah: "Hai
orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa
sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain,
maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar." (QS 62
Al-Jumu'ah: 6).
"Siapa yang
membantahmu tentang kisah 'Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan kamu),
maka katakanlah (kepadanya): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan
anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri
kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya
la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta."(tm) (QS 3 Ali Imran:
61).
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan, suruhan Allah kepada Yahudi agar minta mati di Surat Al-Jumu'ah
62, Al-Baqarah 94, itu juga mubahalah; kalau memang orang Yahudi itu
menganggap (diri mereka berada) dalam hidayah Allah, sedang Muhammad itu
dianggap dalam kesesatan, maka mintakan mati atas yang sesat dari kedua
golongan itu, kalau memang Yahudi menganggap diri mereka benar. Ternyata
Yahudi tak berani.
Demikian pula ancaman
terhadap orang-orang musyrik di Surat Maryam ayat 75, agar musyrikin
bermubahalah dengan Nabi SAW sekeluarganya.
Dari Ibnu Abbas: Abu
Jahal la'natullah berkata, bila aku melihat Muhammad di sisi Ka'bah pasti
sungguh aku datangi dia sehingga aku injak lehernya. Ibnu Abbas
berkata, bersabda Rasulullah SAW:
"Kalau ia (Abu Jahal)
berbuat, pasti malaikat akan mengambilnya (mengadzabnya) terang-terangan, dan
seandainya orang-orang Yahudi mengharapkan mati pasti mereka mati dan mereka
melihat tempat-tempat mereka berupa neraka." Dan seandainya mereka yang
(ditantang) bermubahalah dengan Rasulullah SAW itu keluar, pasti mereka pulang
(dalam keadaan) tidak menemukan keluarganya dan tidak pula hartanya. (HR
Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan An-Nasai, Tafsir Ibnu Katsir 4: hal 438).
Kesimpulan
Do'a bersama antara
Ummat Islam dan kaum ahli kitab, kafirin/musyrikin yang dibolehkan hanyalah
mubahalah, saling melaknat bagi yang dusta. Sudah jelas, do'a adalah ibadah.
Sedang dalam kaidah, ibadah itu tidak dibolehkan kecuali kalau ada contoh dari
Nabi SAW atau ada dalil yang membolehkannya. Dalam hal do'a bersama
antara Muslimin dan non Muslim, adanya hanyalah tentang mubahalah. Jadi, kalau
mau diadakan do'a bersama antara umat Islam dan non Muslim, seharusnya yang
sifatnya seperti itu, yakni mubahalah, sesuai aturan Al-Quran dan Hadits.
Adapun orang yang
mengadakan (terutama yang memprakarsai) do'a bersama antara Muslim dan non
Muslim seperti yang terjadi sekarang, berarti dia membuat syari'at baru,
sekaligus melanggar aturan syari'ah yang sudah ada, dan itulah perusak agama.
Sedang penyelenggaraan ruwatan adalah mengadakan kemusyrikan, dosa
terbesar. Itu bukannya membuang sial tetapi justru mendatangkan adzab, baik di
dunia maupun di akherat. Wallahu a'lam bis shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar