Minggu, 29 Januari 2012

Ruwatan dan Do'a Antar Agama, Merusak Agama

Ruwatan dan Do'a Antar Agama,
Merusak Agama

Terus  terang ketika ada berita bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan diruwat, saya langsung teringat zaman PKI (Partai Komunis Indonesia) sebelum peristiwa pemberontakan G30S/PKI 1965.  Karena setahu  saya adanya ruwatan itu hanya di daerah-daerah  PKI  atau kalangan  orang abangan (Islam tak shalat) di Jawa. Sedang  desa-desa  yang  masyarakatnya  Islam  tidak  pernah  melaksanakan ruwatan. Meskipun  tidak  otomatis ruwatan itu identik dengan  PKI,  namun timbul  pertanyaan,  apakah Gus Dur mewarisi ajaran  ruwatan  itu dari  gurunya,  Ibu Rubiyah yang memang Gerwani/PKI perempuan? Wallahu a'lam. (Tentang guru Gus Dur di antaranya orang Gerwani itu  lihat  buku  “Bahaya Pemikirian Gus Dur  II,  Menyakiti Hati Umat”, Pustaka Al-Kautsar, 2000).
Ruwatan  itu  sendiri  tidak terdengar  di  masyarakat  sejak  dilarangnya  PKI  tahun 1965. Namun mulai  terdengar  lagi  sejak 1990-an, setelah dukun-dukun berani muncul terang-terangan bahkan praktek  di  mall-mall atau pusat-pusat perbelanjaan  dan  membuat paguyuban yang mereka sebut PPI (Paguyuban Paranormal Indonesia).
Konon  anggota  paguyuban  "wali  syetan"  (istilah  hadits  Nabi Muhammad  SAW untuk dukun) itu 60.000 dukun.  Meskipun  demikian, istilah  ruwatan  tidak begitu terdengar luas,  dan  baru  sangat terdengar  ketika  ada  khabar bahwa Gus Dur, Presiden Indonesia ke-4 yang bekas ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, satu organisasi yang berdiri sejak zaman Belanda 1926)  akan  diruwat, dan kemudian dia benar-benar hadir dalam acara ruwatan di UGM  (Universitas Gajah Mada) Yogya,18/8 2000.
Apa itu ruwatan?
Ruwatan adalah satu upacara kepercayaan yang diyakini  sebagai membuang  sial  yang disebut sukerto alias penderitaan. Istilah ruwatan,   artinya  membebaskan  ancaman  dari  marabahaya   yang datangnya  dari Batoro Kolo, raksasa pemakan manusia,  anak  raja para  dewa  yakni Batoro Guru. Batoro Kolo adalah  raksasa  buruk jelmaan  dari  mani Batoro Guru yang berceceran di  laut,  ketika gagal  bersenggama  dengan  permaisurinya,  Batari  Uma,   ketika bercumbu  di langit sambil menikmati terang bulan, karena  Batari Uma  belum  siap. 
Karena Batoro Guru  gagal  mengendalikan  diri "dengan  sang waktu" (kolo) maka mani yang tercecer di  laut  dan menjadi  raksasa buruk itu disebut Batoro Kolo, pemakan  manusia. Lalu  Batoro Guru berjanji akan memberi makan enak yaitu  manusia yang dilahirkan dalam kondisi tertentu. Seperti kelahiran tanggal sekian  yang  menurut perhitungan klenik (tathoyyur) akan  mengalami sukerto alias penderitaan. 
Juga  yang lahir  dalam  keadaan  ontang-anting (tunggal), kembang sepasang (dua anak lelaki semua atau perempuan semua), sendang apit pancuran (pria, wanita, pria), pendowo limo (5 anak  pria semua). Dll. (Lihat AM  Saefuddin, “Ruwatan  dalam Perspektif Islam”, Harian Terbit, Jum'at 11 Agustus 2000, hal 6).
Itulah orang-orang yang harus diruwat menurut kepercayaan  daricerita  wayang.  Padahal, cerita wayang itu semodel  juga  dengan cerita tentang Pendeta Durno yang menyetubuhi kuda lantas  lahirlah Aswotomo.  Konon Durno diartikan mundur-mundur keno/kena,  jadi dia  naik  kuda  betina  lantas  mundur-mundur  maka   kenalah ke kemaluan kuda, akhirnya  kuda itu melahirkan anak manusia. Hanya saja anak  yang lahir  dari  kuda ini diceritakan tidak jadi  raksasa  dan  tidak memakan  manusia. Jadi, nilai cerita ruwatan itu sebenarnya  juga hanya  seperti  nilai cerita yang dari segi mutunya  saja  sangat tidak bermutu, seperti anak lahir dari rahim kuda itu tadi. Upacara  ruwatan itu bermacam-macam. Ada yang dengan  mengubur seluruh  tubuh  orang/anak yang diruwat kecuali  kepalanya,  ada yang disembunyikan di tempat tertentu dsb.
Adapun Ruwatan yang dilakukan di depan Gedung Balairung Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Jum'at malam 18/8  2000  itu dihadiri  Presiden  Abdurrahman  Wahid didampingi isterinya Ny Nuriyah dan putri sulungnya Alissa Qatrunnada Munawaroh.  Selain itu  tampak  hadir pula Kapolri Jenderal Rusdihardjo (belakangan, 3 bulan kemudian Rusdihardjo dipecat dari jabatannya sebagai Kapolri oleh Gus Dur, konon karena ada berita bocor yang menyebutkan hasil penyidikan kasus Bruneigate yang diduga menyangkut Presiden Gus Dur),   Rektor  UGMIchlasul Amal, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sri Edi Swasono, dan Frans Seda.
Ruwatan itu dilaksanakan terhadap 11 orang  akademisi disebut   ruwatan  bangsa,  penyelenggaraannya  diketuai   Mayjen (purnawirawan) Hariyadi Darmawan. Mereka yang diruwat itu  adalah Prof.  Sayogya,  Prof Kunto Wibisono, Dr  Hariadi  Darmawan,  Tjuk Sukiadi,  Prof  Sri Edi Swasono, Ny  Mubyarto,  Bambang  Ismawan, Nanik  Zaenudin,  Ken Sularto, Amir Sidharta, dan  Wirawanto.
Sebelas orang  yang  diruwat itu bersarung putih.  Kumis  dan  jenggotnya dicukur  bersih,  kemudian tubuhnya disiram dengan  air  kembang. (lihat Rakyat Merdeka, 19/8 2000).
Sementara itu di luar Gedung UGM telah berlangsung demonstrasi mahasiswa yang menentang ruwatan tersebut.
Itulah  acara  ruwatan  untuk  menghindari  Batoro  Kolo  dengan upacara  seperti  itu dan wayangan. Biasanya wayangan  itu  untuk memuji-muji  Batoro Kolo, agar terhanyut dengan pujian  itu,  dan lupa  memangsa.  Di UGM itu wayangan dengan lakon  Murwokolo  dan Sesaji Rojo Suryo oleh dalang Ki Timbul Hadiprayitno.
Kemusyrikan
Ruwatan  itu  ada  yang  menyebutnya adat, ada pula yang menilainya sebagai kepercayaan. Islam memandang, adat itu ada dua macam, adat yang mubah (boleh) dan adat yang haram.  Sedang mengenai kepercayaan,  itu sudah langsung  haram  apabila  bukan termasuk dalam Islam.
Adat yang boleh contohnya blangkon (tutup kepala) untuk orang Jawa.  Itu  tidak dilarang dalam Islam. Tetapi kemben,  pakaian wanita  yang  hanya sampai dada bawah leher,  itu  haram,  karena tidak  menutup  aurat. Tetapi kalau dilengkapi  dengan  kerudung, menutup  seluruh tubuh dan juga menutup rambut kepala, maka  tidak  haram lagi, jadi boleh. Hanya saja namanya bukan kembenan lagi
Adat yang boleh, seperti blangkon tersebut  pun,  kalau  di samping  sebagai  adat  masih pula diyakini  bahwa  akan  terkena bahaya  apabila  tidak memakai blangkon  (yang  kaitannya  dengan kekuatan  ghaib)  maka sudah menyangkut  keyakinan/  kepercayaan, hingga  hukumnya dilarang atau haram, karena tidak sesuai  dengan Islam.  Keyakinan  yang dibolehkan hanyalah yang  diajarkan oleh Islam.
Demikian pula ruwatan, sekalipun ada yang mengatakan bahwa itu merupakan  adat,  namun karena menyangkut  hal  ghaib,  berkaitan dengan  nasib sial, bahaya dan sebagainya; maka  jelas  merupakan keyakinan batil, karena Islam tidak mengajarkan seperti itu.
Sedang  keyakinan  adanya bala'  akibat  kondisi  dilahirkannya seseorang itupun sudah merupakan pelanggaran dalam hal keyakinan, yang dalam Islam terhitung syirik, menyekutukan Allah SWT, sedang orangnya disebut musyrik, pelaku durhaka terbesar dosanya.  Tidak ada  dalil yang menunjukkan benarnya keyakinan itu, namun  justru ketegasan bahwa meyakini nasib sial dengan alamat-alamat  seperti itu   adalah  termasuk tathoyyur, yang hukumnya syirik, menyekutukan Allah SWT; dosa terbesar.
Tathoyyur atau Thiyaroh adalah merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.
Abu  Dawud  meriwayatkan hadits marfu' dari Ibnu  Mas'ud  ra: "At-thiyarotu syirkun, at-thiyarotu syirkun wamaa minnaa illa, walaakinnallooha yudzhibuhu bittawakkuli."
"Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari  antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya  sesuatu  dari hal  ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal  kepada-Nya." (Hadits Riwayat Abu Daud).
Hadits ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih, dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas'ud. (Lihat Kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, cetakan I, 1416H/ 1995, halaman 150).
Imam  Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu 'Amr bahwa Nabi  SAW bersabda: “Barangsiapa  yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik." Para sahabat bertanya: "Lalu apakah sebagai tebusannya?" Beliau menjawab: "Supaya mengucapkan: Allahumma laa khoiro illaa khoiruka walaa thoiro illaa thoiruka walaa ilaaha ghoiruka.”
Ya  Allah,  tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali  kesialan  dari  Engkau, dan tiada sembahan yang haq  selain  Engkau." (HR Ahmad). (Syaikh Muhammad At-Tamimi, Kitab Tauhid, hal 151).
Sedangkan  meminta perlindungan kepada Betoro Kolo agar  tidak dimangsa  dengan  upacara  ruwatan  dan  wayangan  itu   termasuk kemusyrikan yang dilarang dalam Al-Qur'an:
"Dan  janganlah  kamu memohon kepada selain Allah, yang  tidak  dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian,  termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)." (Yunus/ 10:106).
Dhalim di ayat ini diartikan musyrik, karena kemusyrikan itu adalah sebesar-besar kedhaliman. (Lihat Al-Ustadz Dr Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Wajiiz, Darul Fikr, Dimasyq -Suriyah, cetakan I, 1415H, halaman 221)
“Dan  jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka  tidak  ada yang dapat menghilangkannya selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak  karunia-Nya..." ( Yunus: 107).
Setelah kita membicarakan tentang ruwatan ,maka sebelum kita membicarakan tentang do'a antar agama perlu kita tengok bagaimana keadaan masyarakat Indonesia dalam hal kepercayaan mereka mengenai hal-hal yang menyangkut kemusyrikan. Berikut ini kita simak berita singkatnya:
Hasil Riset: Sebagian Besar Masyarakat  Indonesia Percaya Jimat dan Perdukunan
Riset dan survey tentang Akhlaq (Moral) Iman kepada Tuhan versus Kepercayaan kepada Kekuasaan Ghaib selain Tuhan, dilakukan oleh Yayasan Nusantara, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan rakyat. Hasilnya disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memang mengalami permasalahan yang sangat mendasar yaitu terjerumus dalam immoralitas.
Survei dilakukan pada 20 Juni hingga 20 Juli 2000, dengan melibatkan 500 responden yang dipilih acak dari seluruh Indonesia melalui telepon. Salahsatu temuan dari hasil survei itu adalah 100 persen anak bangsa Indonesia sesungguhnya anak bangsa yang religius dan mengikuti suatu ajaran agama tertentu.
Dari survei terlihat bahwa responden memang percaya kepada hal-hal yang bersifat gaib. Tercatat sebagian besar responden yaitu 64 persen mengaku percaya dan mempunyai hubungan atau pernah punya hubungan dengan praktek perdukunan, santet, klenik, pelet atau susuk.   Sedangkan yang tak pernah punya hubungan dengan hal-hak demikian sebanyak 21,6 persen,
Dan yang percaya namun tidak mau telibat dalam praktek tersebut mencapai 14,4 persen.
Yang memprihatinkan lagi, sebagian besar dari responden nyatanya sangat percaya dengan perdukunan, pergi ke kubur-kubur dan tempat yang dikeramatkan, ke peramal dan meyakini kebenaran horoskop.
Sebanyak 50,2 persen dari 500 responden mengaku bahwa hal-hal demikian mereka jadikan landasan berfikir, bertindak dan menentukan sikap dalam kegiatan sehari-hari.
Responden yang juga percaya dan yakin namun tidak memiliki keinginan  untuk terlibat sebagai pelaku sebanyak 4,8 persen
Sedangkan yang sama sekali tidak percaya dengan hal-hal demikian sebanyak  45 persen.
Dari survei ini juga terungkap bahwa masyarakat Indonesia sangat mempercayai jimat atau benda yang disakralkan. Dari 500 responden sebanyak 63 persen menyatakan percaya bahwa jimat-jimat atau benda-benda yang disakralkan lainnya benar-benar memiliki khasiat kegaiban dan manfaat tertentu.
Sedangkan  yang ragu mencapai 5,8 persen.
Yang tidak percaya sebanyak 33,6 persen.
Dari penjelasan survei di atas terlihat bahwa masyarakat Indonesia memang mulai kehilangan kepercayaan dan semakin jauh dari Tuhan. Yang muncul justru sifat syirik dengan menjadikan jimat-jimat sebagai 'Tuhan". Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim yang sesungguhnya merupakan bangsa religius. (mag).  (Republika, Jum'at 4 Agustus 2000, halaman 16).
Demikianlah gambaran masyarakat Indonesia secara sekilas mengenai kepercayaan yang menyangkut kemusyrikan. Selanjutnya mari kita bahas tentang do'a antar agama.
Do'a Antar Agama Merusak Agama
Di  samping ada ruwatan, ada pula gejala "baru" berupa  acara do'a  bersama  antar  berbagai agama dan  keyakinan.  Bahkan  ada upacara  "Indonesia  Berdoa"  yang  diselenggarakan  di   Senayan Jakarta,  Agustus  2000,  terdiri  dari  berbagai  macam   agama, diprakarsai oleh KH Hasyim Muzadi ketua umum PBNU. Sebelum ada upacara "Indonesia Berdo'a" antar berbagai agama dan keyakinan, sudah dikenal umum bahwa Dr Said Aqiel Siradj dari NU (Nahdlatul Ulama) dan Istri Gusdur (Siti Nuriyah) melakukan do'a bersama orang-orang dari bermacam-macam agama itu.
Bolehkah itu dilakukan menurut syari'at Islam, mari kita kaji.
Pengertian dan fungsi do'a
Do'a  adalah  permintaan  hamba  kepada  Allah  SWT,  dan   itu merupakan  suatu ibadah. Allah SWT berfirman:
"Dan  Tuhanmu berfirman: 'Berdo'alah kepada-Ku niscaya akan  Kukabulkan bagimu." (QS 40 Al-Mu'min: 60).
Penegasan Nabi SAW, do'a itu ibadah:
"Ad-Du'aau huwal 'ibaadatu," tsumma qoola: Qoola  Robbukum  "Ud'uunii  astajib lakum".
"Do'a  itu ialah ibadah," kemudian Nabi SAW membaca firman Allah: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan  bagimu."  (HR Abu Dawud).
Adab berdo'a
Ada  ayat-ayat  Al-Quran dan Hadits Nabi SAW  yang  memberikan tuntunan adab berdo'a.
1. Merendahkan diri dan bersuara lembut. Allah SWT berfirman:
"Serulah Tuhan kamu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut, karena sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas." (QS Al-A'raaf: 55).
Allah SWT memuji hamba-Nya, Nabi Zakaria, dengan firman-Nya:
“Tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut." (QS 19 Maryam: 3).
2. Menghindari bersuara keras dalam berdzikir dan berdo'a.
"Ayyuhan naasu irba'uu 'alaa anfusikum fainnakum laa tad'uuna ashomma walaa ghooiban innakum tad'uuna samii'an qoriiban wahuwa ma'akum."
"Wahai  ummat manusia, kasihanilah dirimu dan  rendahkanlah  suaramu, kamu tidak menyeru Tuhan yang tuli atau yang gaib (jauh), sesungguhnya kamu menyeru Tuhan yang Pendengar, dekat, dan Dia menyertai kamu." (Hadits Muttafaq 'alaih). (Tentang Dia menyertai kamu, itu baca buku ini pada bab yang membahas "ma'iyah Allah", kebesertaan Allah, yang maknanya Allah bersemayam di atas 'arsy, menyertai kita namun bukan berarti Dia berada di bumi).    
3. Disertai iman dan amal shaleh
"Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan, dan Dia mengabulkan (do'a) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang shalih dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka adzab yang sangat keras." (QS 42 As-Syuura: 25, 26).
4. Makanan,  minuman,  dan pakaiannya  dari  hasil  yang  halal.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu'min dengan apa-apa yang diperintahkan oleh para rasul. Maka Dia berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mukminuun: 51).
Dan Dia berfirman: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik, yang Kami berikan kepadamu. (Al-Baqarah: 172).
Kemudian Nabi menyebutkan seorang laki-laki yang telah berkelana jauh dengan rambutnya yang kusut masai dan pakaian yang penuh debu, ia menengadahkan tangannya ke langit sambil berdo'a; Ya Allah, Ya Allah, sedang makanannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan dibesarkan dengan makanan haram, bagaimana Allah mengabulkan do'anya itu? (HR Muslim nomor 2301).
5. Keyakinannya  tanpa ragu.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Laa yaquulanna ahadukum: Alloohummaghfir lii in syi'ta, Alloohummarhamnii in syi'ta, liya'zamal mas'alata fainnahu laa mukriha lahu."
"Janganlah salah seorang dari kamu mengatakan: "Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki, ya Allah rahmatilah aku jika Engkau menghendaki", tetapi hendaklah berkeinginan kuat dalam permohonannya itu karena sesungguhnya Allah tiada sesuatu pun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu." (HR Abu Daud).
6. Tidak membangkit-bangkit (bahasa Jawa: mengundat-undat)  Allah  ketika do'a belum terkabul.
Rasulullah saw bersabda:
"Yustajaabu li ahadikum maalam yu'ajjil yaquulu: qod da'autu Robbii falam yastajib lii."
"Do'a seseorang akan dikabulkan (oleh Allah) selama orang itu tidak tergesa-gesa (ingin dikabulkan), yaitu dengan mengatakan: "Saya telah berdo'a tetapi do'a itu belum juga dikabulkan Tuhan untukku"." (Muttafaq 'alaih).
7. Jangan mendo'akan jelek kepada diri sendiri, anak-anak, dan harta, sekalipun sedang marah, karena Rasulullah saw mengkhawatirkan do'a itu bertepatan dengan waktu Allah menerima atau mengabulkan do'a dari hambaNya. Nabi saw bersabda:
"Laa tad'uu 'alaa anfusikum walaa tad'uu 'alaa aulaadikum, walaa tad'uu 'alaa amwaalikum, laa tuwaafiquu minalloohi sa-'atan yas'alu fiihaa 'ithooan fayastajiibu lakum."
"Janganlah kamu mendo'akan buruk (celaka dsb, pen) terhadap dirimu, jangan kamu mendo'akan buruk terhadap anak-anakmu, dan jangan kamu mendo'akan buruk terhadap harta bendamu! Jangan sampai nanti do'amu itu bertepatan dengan suatu saat dimana Allah sedang memenuhi permohonan, hingga do'a burukmu itu benar-benar terkabul." (HR Muslim).
Masalah do'a antar agama
Dalam Al-Quran dan Hadits, do'a bersama antara mu'minin  (Nabi dan ummat Islam) di satu pihak, dan Ahli Kitab ataupun  musyrikin di  lain  pihak; justru merupakan do'a ancaman,  saling  melaknat untuk adu kebenaran, yang disebut mubahalah.
Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat, berdo'a kepada  Allah dengan bersungguh-sungguh agar  Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak yang  berdusta.  Nabi mengajak  utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka  tidak berani  dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad  SAW. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 1 hal 628).
Perintah  do'a  itu kalau ditujukan kepada Ahli  Kitab  justru berupa ancaman, bahkan mubahalah.
Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan  bahwa  sesungguhnya  kamu sajalah  kekasih  Allah  bukan manusia-manusia  yang  lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar." (QS 62 Al-Jumu'ah: 6).
"Siapa  yang  membantahmu tentang kisah 'Isa setelah datang ilmu (yang  meyakinkan  kamu), maka katakanlah (kepadanya):  Marilah  kita memanggil  anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami  dan isteri-isteri  kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian  marilah  kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta."(tm) (QS 3 Ali Imran: 61).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, suruhan Allah kepada Yahudi agar minta  mati  di  Surat Al-Jumu'ah 62,  Al-Baqarah  94,  itu  juga mubahalah; kalau memang orang Yahudi itu menganggap (diri  mereka berada)  dalam hidayah Allah, sedang Muhammad itu dianggap  dalam kesesatan, maka mintakan mati atas yang sesat dari kedua golongan itu,  kalau memang Yahudi menganggap diri mereka benar.  Ternyata Yahudi tak berani.
Demikian  pula ancaman terhadap orang-orang musyrik di Surat Maryam  ayat  75,  agar musyrikin bermubahalah dengan Nabi SAW sekeluarganya.
Dari Ibnu Abbas:  Abu Jahal la'natullah  berkata,  bila  aku melihat  Muhammad  di sisi Ka'bah pasti sungguh aku  datangi  dia sehingga  aku  injak  lehernya.  Ibnu  Abbas  berkata,   bersabda Rasulullah   SAW:
"Kalau ia (Abu Jahal) berbuat, pasti malaikat akan mengambilnya (mengadzabnya)  terang-terangan,  dan seandainya  orang-orang  Yahudi mengharapkan mati pasti mereka mati dan mereka melihat  tempat-tempat mereka berupa neraka." Dan seandainya mereka yang (ditantang)  bermubahalah dengan Rasulullah SAW itu keluar, pasti mereka pulang  (dalam keadaan) tidak menemukan keluarganya dan tidak pula hartanya. (HR Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan An-Nasai, Tafsir Ibnu Katsir  4: hal 438). 
Kesimpulan
Do'a  bersama antara Ummat Islam dan kaum ahli  kitab,  kafirin/musyrikin  yang dibolehkan hanyalah mubahalah, saling melaknat bagi yang dusta. Sudah jelas, do'a adalah ibadah.  Sedang  dalam kaidah, ibadah itu tidak dibolehkan kecuali kalau ada contoh dari Nabi  SAW  atau  ada dalil yang membolehkannya.  Dalam  hal  do'a bersama  antara Muslimin dan non Muslim, adanya hanyalah  tentang mubahalah. Jadi, kalau mau diadakan do'a bersama  antara  umat Islam dan non Muslim, seharusnya yang sifatnya seperti itu, yakni mubahalah, sesuai aturan Al-Quran dan Hadits.
Adapun orang yang mengadakan (terutama yang memprakarsai) do'a bersama  antara  Muslim  dan  non  Muslim  seperti  yang  terjadi sekarang, berarti dia membuat syari'at baru, sekaligus  melanggar aturan syari'ah yang sudah ada, dan itulah perusak agama.  Sedang penyelenggaraan  ruwatan  adalah  mengadakan  kemusyrikan,   dosa terbesar.  Itu bukannya membuang sial tetapi justru  mendatangkan adzab, baik di dunia maupun di akherat. Wallahu a'lam bis shawaab.

Tidak ada komentar: