Dikenal Nyeleneh
Nama-nama yang terdaftar sebagai kontributor (penyumbang) Jaringan Islam
Liberal itu ada beberapa orang yang sudah dikenal nyelenehnya. Memang
faham inklusif dan pluralisme itu sendiri jelas bertabrakan dengan Islam.
Pluralisme menganggap semua agama itu paralel, sejalan, hanya beda teknis, tapi
prinsipnya sama. Sedangkan Islam ada garis tegas dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
Nanti insya Allah saya kemukakan dalil-dalil untuk menolak faham pluralisme dan
inklusif itu, namun sebelumnya mari kita simak beberapa lontaran dari para tokoh
Islam Liberal itu.
-Nurcholish Madjid sebagaimana
telah kita bahas di atas, sampai-sampai dia melontarkan bahwa fikih telah
kehilangan relevansinya dalam kehidupan modern sekarang ini. Antara apa yang ia
lontarkan itu sendiri dengan gagasan/ pemikiran yang ia lontarkan pula, tidak
ada kecocokan. Coba kita tanyakan: Apa relevansinya dengan kehidupan modern
sekarang ini, hingga sempat-sempatnya Nurcholish Madjid melontarkan:
1. Makna Laa
ilaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah) ia ubah jadi Tiada tuhan (t
kecil) selain Tuhan (T besar). Lontaran itu dalam makalah seminarnya yang
diselenggarakan Harian Pelita, Jakarta, April 1985. Hingga seorang
peserta memprotesnya, dan menyatakan penerjemahan semacam itu hukumnya haram,
karena mengaburkan makna Tauhid (keesaan Allah). Kata Dr Bachtiar Effendi dosen
IAIN Jakarta dan perguruan tinggi lainnya yang sebenarnya dia juga orang yang
dekat dengan Nurcholish: Ungkapan Cak Nur (Nurcholish) itu cari kerjaan saja.
Itu kan sama saja dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang ingin mengganti
Assalamu’alaikum jadi Selamat pagi. Di kalangan awam kan kemudian
bisa difahami, apakah boleh ketika kita mengakhiri shalat, saat menengok ke
kanan dan kekiri, dengan mengucapkan: Selamat pagi, Selamat pagi.. Kan
itu namanya cari kerjaan.
2. Apa
relevansinya, Nurcholish Madjid mengartikan Islam itu bukan nama agama, tapi
sikap pasrah, sehingga akibatnya, orang non Islam yang juga punya sikap pasrah
jadi risih. “Orang saya tidak Islam kok dikatakan Islam, itu bagaimana?”
3. Apa
relevansinya Nurcholish Madjid menyebut orang Konghuchu, Hindu, Budha, dan Sinto
itu adalah orang Ahli Kitab juga sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani, karena
menurut Nurcholish, alasannya adalah: setiap kaum itu ada nadzir-nya
(pemberi peringatan). Jadi mereka, menurut Nurcholish, adalah Ahli Kitab juga.
Tetapi kenapa penyembah berhala di Arab tidak dimasukkan sebagai Ahli Kitab,
padahal justru mereka masih berhaji mengamalkan ibadah Nabi Ibrahim? Padahal
justru Nabi Ibrahim itu jelas nabi, dan juga punya shuhuf/ kitab?
4. Apa
relevansinya dengan kehidupan modern ini, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa
musyrikat (wanita musyrik) yang tidak boleh dinikahi menurut Al-Qur’an itu hanya
musyrikat Arab? Padahal, kalau alasannya seperti point 3 tersebut di atas,
justru wanita musyrik Arab punya kitab alias Ahli Kitab, karena mengamalkan
ibadah haji yang diwarisi dari Nabi Ibrahim as.
Lontaran-lontaran Nurcholish Madjid itu sendiri
tidak ada relevansinya dengan kehidupan modern sekarang ini, bahkan menabrak
ajaran Islam. Tetapi dia justru berani mengatakan, fikih telah kehilangan
relevansinya.
- Tokoh lainnya, Masdar F Mas’udi adalah orang yang banyak bergaul dengan para
kiai NU (Nahdlatul Ulama), karena dia memang orang NU secara struktural maupun
secara pendidikan dulunya. Masdar Farid Mas’udi ini kenalan baik saya, karena
sama-sama dari IAIN Yogya. Dia juga wartawan seperti saya. Tetapi dia namanya
jadi melejit sejak punya gagasan agar ibadah haji tiap tahun itu waktunya
diperluas, bukan hanya pada bulan Dzulhijjah. Karena di dalam Al-Qur’an
disebutkan, Al-Hajju asyhurun ma’luumaat, ibadah haji itu pada
bulan-bulan tertentu, yaitu Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Maka, menurut
Masdar, ayat Al-Qur’an itu jangan dikorbankan oleh hadits al-Hajju
‘Arofah, ibadah haji itu Arafah (9 Dzulhijjah di padang Arafah).
Secara sekilas, usulan itu seakan logis.
Tetapi ibadah haji itu ada ayatnya, ada haditsnya, dan ada praktek Nabi saw.
Sedang Nabi saw memerintahkan: Khudzuu ‘annii manaasikakum (ambillah
dariku tatacara ibadah hajimu). Karena ibadah haji itu mengenai waktu dan
tempatnya pun termasuk hal-hal yang ditentukan, maka usulan Masdar itu menjadi
aneh.
Kenapa?
Karena hal-hal mengenai ketentuan ibadah itu
dalam Islam disebut tauqifi, sudah ditentukan, umat Islam tinggal ikut
dan ta’at. Dalam istilah ushul fiqh, namanya ta’abbudi, yaitu
wilayah ibadah yang sifatnya bukan ta’aqquli (wilayah
akal). Pak Munawir Sjadzali yang dikenal ingin merungubah hukum
waris Islam mengenai bagian anak laki-laki dibanding perempuan 2:1 akan
dijadikan 1:1 saja beliau mengatakan takut untuk menyentuh wilayah ibadah.
Sampai-sampai beliau sering sekali mencontohkan Umar bin Khathab yang mengatakan
bahwa Hajar Aswad itu hanya batu, tetapi karena Umar melihat Nabi saw menciumnya
maka Umar pun ikut menciumnya, karena ini masalah ibadah. Jadi dalam hal ibadah,
kita hanya sebagai pengikut. Hanya saja Pak Munawir taat pada satu perkara tapi
menyelisihi dalam perkara lainnya, yaitu ayat yang sudah jelas qoth’i (pasti)
pengertiannya, masih mau dia ubah. Maka tidak bisa. Jadinya, Masdar lebih
“maju” ketimbang Pak Munawir, tetapi justru lebih tidak bisa diterima untuk
mengubah waktu yang berkaitan dengan ibadah haji. Sedang Pak Munawir pun tak
bisa mengubah ketentuan hukum waris Islam, walaupun dia beralasan bahwa hukum
waris itu bukan termasuk hukum dalam ibadah.
Di samping lontarannya tentang ibadah haji,
Masdar juga menyamakan zakat dengan pajak. Padahal ketentuan zakat itu sudah
jelas di dalam Al-Qur’an. Sedang yang namanya pemungutan pajak, para ulama
berbeda-beda pendapat, baik tentang bolehnya maupun tentang syarat-syaratnya dan
kegunaannya. Adapun zakat, sudah jelas merupakan kewajiban bagi muzakki (si
wajib zakat). Bahkan merupakan salah satu rukun Islam, hingga Khalifah Abu Bakar
pun mengerahkan tentara untuk memerangi orang-orang yang tidak membayar
zakat.
Kalau zakat sama dengan pajak, maka apakah
Masdar berani mengatakan bahwa bayar pajak itu merupakan rukun Islam? Kalau toh
berani, Islam tidak akan mengakuinya. Padahal justru ada kata-kata Nabi saw yang
mengibaratkan taubatnya wanita yang dirajam karena berzina bisa memadai bila
dibanding taubatnya pemungut pajak. Apakah kata “pemungut pajak” di situ Masdar
berani pula menggantinya dengan “pemungut zakat” yang bahkan Nabi saw pun
menugaskan orang untuk memungut zakat?
Walhasil, penyamaan zakat dengan pajak itu
adalah satu lontaran yang mengada-ada.
- Goenawan
Mohammad yang dikenal sebagai
pemimpin Majalah Tempo tidak banyak terdengar dalam hal gagasannya
tentang Islam. Tetapi waktu geger dunia tentang penghinaan Islam dalam novel
ayat-ayat Syetan karangan Salman Rushdi orang India yang tinggal di Inggeris
sebelum tahun 1990-an, Goenawan Mohammad sebagai pembela Salman Rushdi
berpolemik dengan Ridwan Saidi yang bersama umat Islam sedunia menghujat Salman
Rushdi yang menghina Islam. Goenawan Mohammad menulis di Majalah Tempo,
waktu itu merupakan majalah mingguan terbesar di Indonesia, sedang Ridwan
Saidi dengan nama samaran Abu Jihan menulis lewat Majalah Panji
Masyarakat yang waktu itu masih merupakan majalah Islam. Ridwan Saidi
menyindir Goenawan Mohammad dengan judul tulisan Gunter Mahound. Mahound
adalah kata-kata hinaan yang dilontarkan Ridwan Saidi sebagai tendangan balik.
Karena Goenawan membela Salman Rushdie dengan dalih kebebasan mencipta, maka
Ridwan melontarkan hinaan lewat tulisan terhadap Goenawan dengan alasan
“kebebasan mencipta” pula. Tapi Goenawan sangat marah sampai kini, kata Ridwan.
Djohan Effendi, Deakin
University, Australia.
Beliau ini terdaftar resmi sebagai anggota
aliran sesat menyesatkan yaitu Ahmadiyah di Yogyakarta. Dia lah yang menyunting
buku Catatan Harian Ahmad Wahib yang menggegerkan umat Islam tahun 1981,
karena isinya ada 26 point yang menabrak Islam. Faham pluralis dihembuskan dari
sana. Djohan Effendi juga melindungi aliran-aliran sesat, baik sebagai APU (Ahli
Peneliti Utama) bidang agama di Departemen Agama maupun ketika ia jadi pejabat
di Sekretariat Negara jaman Presiden Gusdur tahun 2000M. Sampai-sampai ketika
ditanyakan tentang kemungkinan pelarangan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
yang sebenarnya merupakan aliran Islam Jama’ah yang telah dilarang pemerintah,
justru Djohan mengatakan, orang mau ke Kramat Tunggak (tempat pelacuran) saja
tidak dilarang, masa’ orang mau beribadah dilarang.
Djohan
Effendi juga memimpin rombongan ke Israel bersama Gus Dur di masa Soeharto.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari,
Bandung.
Tokoh ini menolak hadist shahih riwayat Imam
Muslim, Antum a’lamu bi umuuri dunyaakum (kalian lebih tahu tentang
rusan-urusan dunia kalian).
Hadits yang jelas shahih, Jalal tolak. Tetapi
tasawuf yang tidak ada dalilnya, bahkan rawan kesesatan (untuk lebih jelas
tentang kesesatan tadawuf, silahkan baca buku saya, tasawuf Belitan Iblis,
dan buku Tasawuf Pluralisme dan Pemurtadan), justru dia jajakan lewat
buku-buku maupun ceramahnya, untuk menjajakan Syi’ah, aliran sesat. Dia
mengadakan kontrovesri yang sangat nyata. Dia adalah tokoh Ijabi (Ikatan Jama’ah
Ahlul Bait). Dia orang Sunda, menyatakan diri sebagai jama’ah Ahlul Bait
(keluarga Nabi saw) padahal Aisyah yang jelas isteri Nabi saw saja tidak
dimasukkan sebagai Ahlul Bait oleh kelompok Ijabi itu. Aneh. Memang aliran sesat
itu biasanya sering aneh.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dia ini memberi kata pengantar dengan
memuji-muji buku Anand Kreshna, keturunan India kelahiran Solo, yang tidak jelas
agamanya apa, tetapi isi bukunya itu mencampur aduk aneka ajaran agama. Hanya
saja judul-judulnya membahas tentang Islam, bahkan Al-Qur’an. Buku-buku Anand
diterbitkan oleh penerbitan Katolik, Gramedia alias Kompas Group di Jakarta.
Karena isinya banyak merusak pemahaman Islam, maka dihujat orang lewat
Majalah Media Dakwah dan Republika, akhirnya buku-buku Anand
Kreshna ditarik dari peredaran oleh penerbitnya. (Silahkan baca selengkapnya ada
di buku Tasawuf Pluralisme dan Pemurtadan).
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Dia ini membolehkan dan menganggap tidak
apa-apa wanita Islam dinikahi lelaki Nasrani, dalam kasus artis Ira Wibowo
dinikahi Katon Bagaskara. Kata Komar, tidak apa-apa asal tidak mengganggu
keimanannya. Pendapatnya itu berlawanan dengan Al-Qur’an:
لاهن حل لهم ولاهم يحلون لهن.
“Mereka (wanita-wanita beriman) tidak halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi
mereka.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).
Komar juga pernah berbicara di depan
orang-orang Nasrani bahwa kalau menang orang Islam maka kalian orang Nasrani
dikek (sembelih) semua. Ucapan itu kemudian dimuat di koran Protestan,
Sinar Harapan (kini namanya Suara Pembaruan), maka ramai di
masyarakat, sehingga Komar khabarnya minta maaf dan meralat.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Tokoh ini khabarnya berbau Syi’ah. Pernah menggegerkan ketika ia
berbicara dan menulis makalah yang isinya menuduh bahwa orang-orang Arab, begitu
Nabi saw meninggal maka mereka meninggalkan agamanya, dan yang tidak hanya kaum
Quraisy, dan itupun bukan karena Islam, tapi karena kesukuan. Karena berani
memurtadkan orang-orang sekitar Nabi saw, maka khabarnya Said Agil Siraj ini
dikafirkan oleh sekian kiai. Tetapi kemudian ia malah berpendapat lebih aneh
lagi, dan dimuat di suatu majalah. Kata Agil Siraj, kalau seseorang berdo’a
kepada batu secara khusyu’ maka Allah akan mengabulkan do’anya. Karena kalau
tidak, maka Allah akan sama dengan batu.
Ketika Agil Siraj bersaing mencalonkan diri sebagai ketua umum PBNU
(Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dengan KH Hasyim Muzadi untuk menggantikan Gus
Dur (Abdurrahman Wahid) yang sedang jadi Presiden, ada slebaran di Muktamar NU
di Jawa Timur. Isinya, jangan pilih orang yang suka blusak-blusuk (keluar
masuk) ke gereja. Slebaran itu artinya menolak Agil Siraj yang khabarnya suka
ceramah di gereja. Akhirnya Agil Siraj kalah.
Itulah kondisi sebagian mereka yang terdaftar dalam Jaringan Islam
Liberal. Memang pendapat sebagian mereka itu membuat geger. Kadang membuat
geger, dan memang pendapat yang menggegerkan itu adalah pendapat model orang
Pluralis ataupun Islam Liberal. Tetapi sosok penulisnya ketika melontarkan
gagasan yang menggegerkan kadang tidak ditampilkan.
Kasus itu di antaranya sudah dua kali terjadi di koran
Republika. Hingga Republika didemo oleh tokoh-tokoh Islam dari
KISDI, Dewan Dakwah, As-Syafi’iyah, Khairu Ummah, BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok
Pesantren se-Indonesia) dan lainnya.
Kasus pertama, kaum Pluralis atau kini
menyebut dirinya Islam Liberal itu menampilkan pemikiran pluralisme dalam buku
Catatan Harian Ahmad Wahib, lalu dimuat panjang lebar oleh
Republika.
Kasus kedua, menampilkan artis Nike Ardila,
yang mati karena mobilnya menabrak tembok, secara besar-besaran dan
berhari-hari. Sampai-sampai di koran Republika yang sahamnya dari umat
Islam itu ditulis bahwa Nike Ardila kini tenang tidur di sisi Tuhan.
Artis yang lakonnya sulit untuk diteladani
tetapi diucapi dengan derajat setinggi itu (tidur di sisi Tuhan), menjadikan
gerahnya para tokoh Islam. Tulisan itu khabarnya memang dibuat oleh orang yang
kini ternyata terdaftar dalam Jaringan Islam Liberal tersebut.
Bantahan terhadap Faham Pluralis
–Islam Liberal
Untuk menjawab golongan tasykik
(menyebarkan keragu-raguan) yang punya faham pluralisme dan inklusivisme dengan
menyebut dirinya sebagai Islam Liberal itu, perlu disimak ayat-ayat, hadits,
sirah Nabi Muhammad saw yang riwayatnya otentik.
Kalau semua agama itu sama, sedang mereka yang
beragama Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in itu cukup hanya mengamalkan agamanya, dan
tidak usah mengikuti Nabi Muhammad saw, maka berarti membatalkan berlakunya
sebagian ayat Allah dalam Al-Qur’an. Di antaranya ayat:
وما أرسلناك
إلا كافة للناس. (السبأ: 28).
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk seluruh manusia.” (As-Saba’/34: 28).
قل يأيها
الناس إني رسول الله إليكم جميعا (الأعراف:158)
“Katakanlah (hai Muhammad): Hai manusia!
Sesungguhnya aku utusan Allah kepada kamu semua.” (Al-A’raaf/ 7: 158).
Apakah mungkin ayat itu
dianggap tidak berlaku? Dan kalau tidak meyakini ayat dari Al-Qur’an, maka
hukumnya adalah ingkar terhadap Islam itu sendiri. Kemudian masih perlu pula
disimak hadits-hadits.
Sabda Nabi saw:
وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة.
“Wa kaanan nabiyyu yub’atsu ilaa qoumihi
khooshshotan wa bu’itstu ilan naasi ‘aamatan.”
“Dahulu Nabi diutus khusus kepada kaumnya sedangkan aku (Muhammad) diutus
untuk seluruh manusia.” (Diriwayatkan Al-Bukhari 1/ 86,
dan Muslim II/ 63, 64).
Mungkin golongan tasykik –Islam Liberal
masih berkilah, bahwa ayat-ayat dan hadits tentang diutusnya Nabi Muhammad
untuk seluruh manusia ini bukan berarti Yahudi dan Nasrani sekarang baru bisa
masuk surga kalau mengikuti ajaran Nabi saw. Kilah mereka itu sudah ada jawaban
tuntasnya:
عن
أبي هريرة عن رسول الله ص م أنه قال: والذي نفس محمد بيده ، لا يسمع بي أحد من هذه
الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار.
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi
saw annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun
min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min
billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.”
(Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari
Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di
tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia
itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan
apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”
(Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan
birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi,
wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan
penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Konsekuensi dari ayat dan hadits itu, Nabi
Muhammad saw sebagai pengemban risalah yang harus menyampaikan kepada umat
manusia di dunia ini, maka terbukti Nabi saw mendakwahi raja-raja yang beragama
Nasrani dan bahkan raja atau kaisar beragama Majusi. Seandainya cukup orang
Yahudi dan Nasrani itu menjalankan agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam,
maka apa perlunya Nabi Muhammad saw mengirimkan surat kepada Kaisar Heraclius
dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani, sebagaimana Kaisar Kisra
di Parsi (Iran) yang beragama Majusi (penyembah api), suatu kepercayaan syirik
yang amat dimurkai Allah SWT.
Sejarah otentik yang tercatat dalam
kitab-kitab hadits menyebutkan bukti-bukti, Nabi berkirim surat mendakwahi
Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk masuk Islam agar mereka selamat
di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan surat-surat Nabi saw yang masih
tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di antaranya surat-surat kepada Raja
Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia), Kaisar Heraclius penguasa Romawi, Kisra
penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir, Raja al-Harits Al-Ghassani di Yaman, dan
kepada Haudhah Al-Hanafi.[1]
Akhirul Kalam
Bagaimanapun disiar-siarkannya dan
digede-gedekannya, namun dengan bukti-bukti ketidak ilmiahan dan ketidak sohihan
pemikiran orang Pluralis yang kini menamakan diri Islam Liberal itu, menurut
terminologi Al-Qur’an tidak lebih hanyalah bagai buih yang tidak ada harganya
dan tak ada gunanya.
أنزل من السماء ماء فسالت
أودية بقدرها فاحتمل السيل زبدا رابيا ومما يوقدون عليه في ا لنار ابتغاء حلية أو
متع زبد مثله,كذلك يضرب الله الحق و البطل فأما الزبد فيذهب جفاء و أما ما ينفع
الناس فيمكث في الأرض كذلك يضرب الله الأمثال
Artinya:
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau
alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang
sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.” (Q.S. Ar-Ra’d :17).
Islam yang benar adalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya, pemahaman Islam yang benar adalah yang sesuai dengan yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, diamalkan dan diwarisi oleh para sahabat,
tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Islam yang disampaikan Nabi saw dan diamalkan bersama para
sahabatnya itulah yang jadi teladan bagi umat Islam selanjutnya. Karena, di
kala ada kesalahan atau kekurangan maka langsung ada teguran dari Allah SWT
lewat wahyu. Selanjutnya, untuk mengamalkan Islam, maka landasannya adalah
Al-Qur’an, As-Sunnah/ Hadits Nabi saw, dan ijma’[2]
(kesepakatan) para sahabat.
Setelah jelas bahwa landasan atau sumber Islam itu adalah Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’, maka dalam hal pemahaman yang shahih adalah pemahaman yang
sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi’ien, dan tabi’it tabi’ien. Karena
merekalah sebagai generasi umat yang terbaik, menurut hadits shahih dari Nabi
saw:
خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم، ثم يجيء أقوام تسبق
شهادة أحدهم يمينه، ويمينه شهادته. (البخاري).
“Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang
sesudahnya, dan orang-orang sesudahnya lagi. Lalu akan datang orang-orang yang
kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”
(HR Al-Bukhari).
Di
samping itu ada hadits yang menunjukkan:
من
كان متأسيا فليتأس بأصحاب رسول الله ص م فإنهم أبر هذه الأمة قلوبا ، وأعمقها
علما، وأقلها تكلفا، وأقومهم هديا وأحسنهم حالا، قوم اختارهم الله لصحبة نبيه
وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم، واتبعوا آثارهم، فإنهم كانوا على الهدى المستقيم.
(÷حمد عن ابن مسعود).
Barangsiapa hendak menjadikan teladan, teladanilah para sahabat
Rasulullah saw. Sebab, mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya,
paling sedikit takallufnya (tidak suka mengada-ada), paling lurus petunjuknya,
dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani
NabiNya dan menegakkan Din-Nya. Karena itu hendaklah kalian mengenal keutamaan
jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada di
atas jalan (Allah) yang lurus.” (HR Ahmad dari Ibnu
Mas’ud).
Dengan demikian, Islam Liberal yang menawarkan pemahaman model-model
yang tidak sinkron dengan ilmu, kenyataan hidup, sejarah yang benar, dan bahkan
tidak pakai dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’; serta pemahamannya tidak
merujuk kepada pemahaman umat terbaik yakni tiga generasi awal Islam, maka jelas
jauh dari kebenaran. Baik itu kebenaran secara ilmu, realita, maupun secara
paradigma ilmu Islam. Maka selayaknya umat Islam hati-hati dan waspada terhadap
pemahaman Islam Liberal itu. Dan kalau mampu bahkan mengadakan pengadilan
terhadap pemahaman mereka, dan menentukan keputusan sesuai dengan hukum Islam
yang baku dan benar.
Sikap terhadap orang-orang yang tidak mau memakai hukum dari Nabi
saw adalah ketegasan seperti yang dilaksanakan oleh Umar bin Khathab berikut
ini, di zaman Nabi saw dan masih turun Al-Qur’an. Peristiwa berikut ini perlu
dijadikan pelajaran:
Ada dua orang yang sedang berselisih. Lalu kedua orang tadi pergi
menghadap Rasulullah saw meminta pengadilan. Rasulullah saw pun menyelesaikan
perselisihan kedua orang tadi. Namun salah seorang dari mereka merasa kurang
puas terhadap keputusan Rasulullah, kemudian ia mengatakan kepada lawannya:
“Kalau begitu kita adukan ke Umar.”
Kedua orang tadi menghadap ke Umar dan menceritakan permasalahannya.
Seusai mendengarkan masalahnya, Umar bangkit dari tempat duduknya sambil
mengatakan:
“Diamlah kalian di tempat.” Umar masuk untuk mengambil pedangnya,
kemudian keluar dan langsung mengayunkannya ke arah orang yang tidak puas tadi
hingga akhirnya orang itu mati.
Kemudian peristiwa itu diberitahukan kepada Rasulullah saw. Beliau pun
bersabda: “Saya kira tidak mungkin Umar memberanikan diri untuk membunuh seorang
mukmin.”
Kemudian Allah SWT menurunkan ayat dalam surat An-Nisaa’ ayat 65
sebagai pernyataan untuk mengokohkan kebenaran pendapat Umar:
“Maka demi Tuhanmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’:
65).[3]
Rasulullah pun menghalalkan darah orang
yang terbunuh itu, dan Umar terbebas dari segala sanksi hukum.
Dalam hal ini Umar beranggapan bahwa perbuatan orang yang dibunuhnya
menyebabkannya halal dibunuh.[4]
Al-Qur’an telah jelas, sikap Nabi saw telah jelas pula, sedang
perlakuan sahabat Nabi saw, dalam hal ini Umar bin Khathab pun jelas. Maka tidak
ada yang perlu diragukan lagi, bahwa orang yang tidak mau berhukum dengan hukum
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yaitu hukum Islam/ syari’at Islam itu jelas
menurut sumpah Allah adalah tidak beriman. Bahkan Umar bin Khathab membunuhnya
pun halal, tidak disalahkan oleh wahyu Allah.
[1] Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf Pluralisme dan
Pemurtadan, Pustaka Al-Kautsar , Jakarta, cetakan I, 2001, halaman
84-86.
[2] Ijma’ sahabat dijadikan sumber dalam Islam, karena ada ayat:
“Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu. Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisaa’/ 4: 115). Catatan kaki
Mukhtashor Tafsir At-Thobari menjelaskan, ayat ini adalah dalil yang
jelas atas ulama yang beristidlal (berargumentasi) tentang kehujahan ijma’
(sahnya ijma’ dijadikan dalil).Karena umat Muhammad ini tidak bersepakat atas
kesesatan, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih. (Catatan kaki Mukhtashor
Tafsir At-Thabari, juz 1, hal 171).
[3] Dr Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikih Umar, terjemahan Abbas MB,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 1, 1994, jilid 1, hal
32.
[4] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar