Pagi Kedelai Sore
Tempe
Ada istilah “Pagi kedelai sore tempe” yang dalam
bahasa Jawa merupakan ungkapan untuk mensifati sikap ataupun omongan orang yang
berubah-ubah dengan cepat. Biasanya dikatakan, “esuk dele sore tempe”
(pagi kedelai sore tempe) terhadap orang yang pendiriannya ataupun ucapannya
sulit dipegangi. Dalam bahasa agama disebut tidak istiqomah.
Kalau sikap itu menyangkut keimanan, maka Allah
SWT sangat mengecamnya, sedang Nabi Muhammad saw sangat memperingatkan agar
Ummat Islam hati-hati sekali dan waspada apabila ada suasana berganti-gantinya
sikap seseorang dari iman ke kafir.
Allah SWT berfirman:
وإذا
لقوا لذين
إنما نحن مستهزءون. (البقرة: 14).
يعمهون. (البقرة: 15).
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan: ”Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada
syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan
kamu, kami hanyalah berolok-olok”.
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan
membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (QS Al-Baqarah: 14,15).
Nabi saw bersabda:
بادروا بالأعمال فتنا كقطع الليل المظلم يصبح الرجل مؤمنا ويمسي كافرا،
ويمسي مؤمنا ويصبح كافرا، يبيع أحدهم دينه بعرض من الدنيا قليل. (روا أحمد ومسلم و
الترمذي عن أبي هريرة صحيح).
“Bersegeralah kamu sekalian dengan beramal
(kebajikan, sebelum datangnya) cobaan-cobaan (yang menghitam) seperti
potongan-potongan malam yang menghitam, seorang lelaki waktu pagi beriman sedang
waktu sore ia menjadi kafir dan waktu sore dia beriman sedang waktu pagi dia menjadi
kafir, seseorang dari mereka menjual agamanya dengan harta dunia yang sedikit.”
(Hadits Riwayat Ahmad, Muslim, dan
At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah, shahih).
Kecaman Allah SWT tersebut di atas ditujukan kepada
orang-orang munafiq, sedang sabda Nabi saw itu ditujukan kepada orang Muslim,
agar bersegera beramal kebajikan sebelum datangnya cobaan-cobaan yang gelapnya
bagai potongan-potongan malam. Cepatnya orang berubah, pagi beriman sore kafir,
dan sore beriman pagi kafir adalah karena menjual agamanya untuk memperoleh
kesenangan/ harta dunia yang nilainya sangat sedikit.
Yang munafiq dikecam Allah SWT itu memang dari jenis
kafir, namun yang diperintahkan agar cepat-cepat beramal kebaikan itu adalah
jenis Muslim, yang godaan besarnya adalah kesenangan dunia.
Orang kafir-munafiq bersikap seperti yang diungkap
Al-Qur’an itu adalah demi mempertahankan kekafirannya. Sedang orang Muslim yang
digambarkan Nabi saw menjual agamanya itu adalah demi tujuan dunia. Antara
mempertahankan kekafiran dan tujuan harta dunia, apabila bergabung jadi satu
maka akan menjadi satu sikap yang amat cepat berubah-ubahnya, pagi beriman sore
kafir, atau sore beriman pagi kafir.
Demikian pula apabila seseorang mempertahankan
ideologinya yang tak sesuai dengan Islam, sikapnya yang tak sesuai dengan Islam,
misalnya sikap ashobiyah (fanatik golongan), fanatik Kiyai, atau bahkan
fanatik dalam mempertahankan bid’ah-bid’ah yang diajarkan kiyai-kiyai mereka
ataupun tradisi nenek moyang yang tak sesuai dengan Islam itu sudah cukup
menjadikan dia bisa bersikap pagi beriman sore menirukan orang kafir. Sore
beriman, paginya menirukan orang kafir.
Sikap ashobiyah/ fanatik golongan ataupun
mempertahankan tradisi yang tak sesuai dengan Islam itu sendiri apabila
bergabung jadi satu dalam diri seseorang, maka volume berubah-ubahnya sikap pun
tambah cepat. Hingga pagi ia beriman, sore sudah cepat-cepat menirukan orang
kafir. Sore beriman, paginya sudah cepat-cepat menirukan orang kafir.
Selanjutnya, apabila adonan ashobiyah plus
bid’ah, plus mempertahankan adat istiadat nenek moyang yang tak sesuai dengan
Islam, lalu disertai dengan menjual agamanya untuk kepentingan kesenangan/ harta
dunia; maka betapa cepatnya orang itu berubah-ubah. Pagi kedelai, sore tempe;
esuk dele, sore tempe.
Kasusnya sama, sikapnya berbeda
Dalam satu
kasus yang sama pun sikap mereka bisa berubah-ubah, apalagi dalam kasus yang
berbeda.
Di kala orang-orang NU sedang mengadakan aksi
penggembosan (pengempesan) PPP (Partai Persatuan Pembangunan, yaitu partai
tempat NU berfusi/ bergabung sejak 5 Januari 1973 terdiri dari partai-partai
Islam: NU, Sarekat Islam, Muslimin Indonesia, dan Perti/ Persatuan Tarbiyah
Indonesia) pada kampanye Pemilihan Umum 1987, beredarlah foto Husen Naro (anak
Naro ketua umum PPP yang termasuk dalam daftar calon anggota DPR PPP) yang
sedang berjoget/ dansa di diskotek. Foto dansa itu sangat “mujarab” untuk
menggembosi PPP, hingga perolehan suara PPP merosot drastis terutama di Jawa
Barat, tempat tersebarnya foto ajojing Husen Naro. Bisa dipastikan, merosotnya
suara PPP itu karena adanya aksi penggembosan yang dilancarkan oleh kelompok NU
pimpinan Gus Dur yang sedang rangkulan dengan Golkar.
Foto dansa seorang anak tokoh bisa dijadikan alat
penggembosan. Tetapi dalam kasus foto yang tak kalah serunya, yaitu foto
Abdurrahman Wahid ketua Umum PBNU yang memangku isteri orang bernama Ariyanti
Boru Sitepu (38 tahun) dan itu terungkap dengan jelas tersebar ke mana-mana
bahkan dijelaskan oleh ahli laboratorium film foto bahwa klisenya itu murni
produk 1995-1997 masa peristiwa itu terjadi, namun orang-orang NU justru sangat
membela Gus Dur. Bahkan beritanya bukan sekadar foto, namun berselingkuh selama
1995-1997 dengan bukti-bukti yang diberitakan secara terinci. Anehnya, sampai
ada yang ungkapan pembelaannya melampaui batas. Pembelaan yang membabi buta
terhadap foto Gus Dur memangku isteri orang itu di antaranya dilakukan oleh KH
Cholil Bisri tokoh tua PKB-NU dari rembang:
“Ýa benar kalau dia mangku. Akrab kan bisa aja.
Saya sendiri sama santri perempuan akrab sekali kok. Jadi keakraban itu bisa
dengan siapa saja. Saya dengan beberapa orang, misalanya Neno Warisman
(perempuan artis, pen), akrab sekali. Setiap saya ada di Jakarta, dia mesti
datang menemui saya, minta ngaji sama saya. Masalah akrab itu tidak mesti untuk
berbuat yang tidak senonoh.” (Panji Masyarakat, 13 September 2000,
Media Dakwah Dzulqa’idah 1421H halaman 7).
Sebegitu berbaliknya sikap kaum Nahdliyin,
dalam kasus yang sama. Terhadap foto Husen Naro yang berjoget dengan wanita
entah di mana tempatnya tidak jelas, mereka sudah sangat membenci dan kebencian
itu dijadikan alat untuk menggembosi partai PPP. Sebaliknya, Gus Dur yang
fotonya beredar memangku isteri orang justru dibela-bela. Ada yang membelanya
ingin sampai titik darah penghabisan. Ini bagai orang Yahudi yang ketika ditanya
oleh Nabi saw apakah mereka kenal dengan Abdullah bin Salam ini, lalu
orang-orang Yahudi itu mengatakan, itu orang terhormat di kalangan kami,
pemimpin agama di lingkungan kami. Lalu ketika Nabi Muhammad saw menjelaskan
bahwa Abdullah bin Salam itu sudah masuk Islam, tiba-tiba orang Yahudi
mengingkari ucapan mereka sendiri, mereka mengatakan bahwa itu pengkhianat di
kalangan kami.
Sikap “pagi kedelai sore tempe” itu ketika disandang
oleh sebagian bangsa ini, maka ada dampak yang merusak, di antaranya
pengembangan maksiat pun justru digalakkan. Contohnya, setelah orang NU jelas
lebih condong ke Golkar dan meninggalkan PPP (satu-satunya saingan Golkar selain
PDI) maka justru Golkar berani berkampanye dengan memasyarakatkan joget.
Padahal, sebelumnya, NU justru memakai “joget” itu sebagai alat untuk memukul
atau menggembosi PPP.
Kalau NU konsisten atau istiqomah, mestinya kampanye
Golkar yang dihingar bingari dengan joget massal campur aduk lelaki perempuan
dengan membawa-bawa rombongan artis itu harusnya diprotes oleh NU. Toh NU itu
gudangnya ulama. Di samping itu foto Gus Dur yang memangku wanita isteri orang
itu mesti disebarkan pula jeleknya, kalau memang konsisten seperti sikap mereka
terhadap Husen Naro yang foto jogetnya dengan wanita disebarkan itu; agar orang
tidak percaya lagi kepada Gus Dur dan jam’iyah atau partainya. Semua itu sama,
di kubangan kemaksiatan yang jelas-jelas para ulama mengetahui haditsnya.
Sedangkan kalau para ulama itu diam saja, bahkan membela, berarti mereka terkena
oleh hadits berikut ini:
ليشربن
أناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها، يعزف على رؤوسهم بالمعازف والمغنيات، يخسف
الله بهم الأرض ويجعل منهم القردة والخنازير. (رواه ابن ماجة).
"Sungguh akan ada orang-orang dari umatku yang minum
arak (minuman keras), mereka namakan dengan nama lain. Kepala mereka itu
dimusiki dengan alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita/ nyanyian, maka
Allah akan menenggelamkan mereka itu ke dalam bumi dan akan menjadikan
mereka itu kera-kera dan babi babi." (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah). Maksudnya,
bukan diubah bentuknya, tetapi jiwanya dan rohnya. Dr Yusuf Al-Qordhowi
menafsirkan, bentuknya bentuk manusia tetapi jiwanya jiwa kera dan rohnya
roh babi.(Al-Halaal wal haroom fil Islaam, hal 295).
Nabi Muhammad SAW memperingatkan:
"Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata
berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki
berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati
berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan
membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya. (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih,
dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya
sama).
Berikut ini mari kita simak laporan resmi Kolonial
Belanda mengenai sikap NU pada kongres pertamanya di Surabaya 1927, dua puluh
satu bulan setelah lahirnya NU. Di bawah ini adalah suara gemuruh yang
berkumandang dalam kongres ke-1 NU:
“Arsip Kolonial dengan kode 261/ X/ 28. Isi arsip
melaporkan Kongres NU di Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan
pidato-pidato yang menjunjung pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang
adil, cocok dengan Islam, dan patut dijunjung sepuluh jari.
Sementara itu tokoh Islam yang menentang Belanda (jelas yang dimaksud tokoh
Syarekat Islam –dll--, pen.[1])
menurut laporan itu, dicaci maki dan pantas dibuang ke Digul (Papua, pen).
(Tempo, 26 Desember hal. 23, Jakarta 1987).
Sebelum menunjuk perubahan sikap NU dari ungkapannya
tersebut, perlu kita simak data, apakah benar penjajah Belanda itu adil, sosok
dengan Islam. Berikut ini data singkatnya:
Dalam rangka usaha untuk memisahkan umat dari
eksistensi dan kehidupannya yang Islami, para penjajah kafir melakukan
tekanan-tekanan dan hambatan terhadap sistem pengajaran Islam. Mereka juga
menghembuskan pemikiran-pemikiran yang dapat merendahkan kedudukan dan menghina
pelajaran-pelajaran Islam.
Sebagai kebalikannya, mereka memperhatikan dan
membantu murid-murid yang memasuki sekolah-sekolah baru tempat pendiikan mereka
(penjajah). Di hadapan mereka dihadapkan pintu masa yang gilang gemilang dan
akhirnya posisi kepemimpinan umat menjadi tergantung kepada mereka (yang diasuh
penjajah itu, pen).
Begitulah tekanan-tekanan yang dilancarkan terhadap
sistem pendidikan Islam dan Bahasa Arab. Semua jalan yang menuju ke sana
tertutup rapat. Murid-murid yang tetap tekun hanyalah sebagian kecil saja.
Biasanya, mereka banyak menghadapi tekanan-tekanan yang sering kali
mengakibatkan mereka berhenti dan macet di tengah jalan. Kalau tidak, maka
mereka dihadapkan pada perlakuan yang berbeda, dengan para lulusan sekolah
mereka (penjajah).
Sikap penjajah yang sangat merugikan pendidikan Islam
itu ditambahi pula dengan membiayai besar-besaran terhadap Protestan dan
Katolik, sambil mengecilkan sama sekali dana untuk Islam. Sebagai contoh pada
tahun 1927 (saat itu NU melangsungkan Kongres pertamanya menjelang akhir tahun,
pen) penjajah Belanda di Indonesia menerapkan alokasi dana bantuan untuk modal
dalam rangka pengembangan agama, adalah sebagai berikut:
Protestan memperoleh f 31.000.000
Katolik memperoleh f 10.080.000
Islam memperoleh f
80.000
Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh
orang Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah sakit
dan sebagainya. Sedang umat Islam tidak punya uang. Pada gilirannya anak-anak
orang kafirin itu telah “makan sekolahan” sedang anak-anak Muslimin belum,
kecuali sedikit, maka ketika merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke
pos-pos pemerintahan di mana-mana. Padahal, mereka itu ogah-ogahan untuk
merdeka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang berjuang
mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun
ketika merdeka, penyusu Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi
pemerintahan. [2]
Sebegitu dhalimnya penjajah Belanda terhadap Ummat Islam, namun sebegitu
tingginya sanjungan NU terhadap penjajah Belanda itu. Kasus yang memalukan
itupun diulang lagi di zaman merdeka.
Di saat jaya-jayanya PKI (Partai Komunis Indonesia)
yang anti Islam itu, dan juga jaya-jayanya Soekarno sebagai presiden, maka NU
berbalik dari menjunjung pemerintahan penjajah Belanda menjadi mengangkat-angkat
Presiden Soekarno --yang sejak awal telah menolak Islam sebagai dasar negara--
dengan gelar kehormatan doktor dakwah dan Waliyul Amri Dhoruri bi
Syaukah. Sedang terhadap Komunis (PKI) dijunjung sebagai jiwa yang menyatu
dengan Islam dalam Nasakom (Nasional, Agama-NU, dan Komunis).
Berikut ini penuturan Dr Deliar Noer tentang kasus
itu:
“.... bagi NU dan Perti kedudukan Soekarno seakan
menjadi maksum. Presiden dilihat benar-benar sebagai “Pemimpin Besar Revolusi
Kita, Bung Karno yang tak pernah mengenal capek dan payah, yang selalu dengan
tabah dan tekun melaksanakan amanat rakyat dan tujuan yang hakiki daripada
revolusi kita ini”. Maka, terharulah Soekarno. Pada Kongres NU tanggal 28
Desember 1962 ia berkata bahwa ia “cinta NU”, oleh sebab itu ditambahkannya
“saya bisa merangkul NU, dan saya harap NU juga merangkul saya.” Dua tahun
kemudian Soekarno diberi gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang
dakwah oleh IAIN Jakarta. Promotornya Saefuddin Zuhri, tokoh NU yang sebulan
sebelumnya diangkat sebagai profesor di lembaga tersebut.
Dengan latar belakang seperti ini, maka golongan
Islam dalam MPR (S) bulan Mei 1963 menyokong sepenuhnya usul pengangkatan
presiden Soekarno seumur hidup. Salah satu pertimbangan untuk menyokong usul ini
ialah gelar dan kedudukannya sebagai Waliy al-amri dharuri –alasan-alasan
lain yang diberikan bersifat “politis” dan “revolusioner”. Pidato dukungan ini
diucapkan oleh ketua kelompok Islam, Sjaichu –tokoh NU, pen, (Duta
Masyarakat, 20 dan 21 Mei 1963). Mungkin karena perasaan dekat yang intens
terhadap Soekarno ini, maka KH Masjkur, yang di antara pemimpin NU dianggap
lebih mampu menahan diri (atau bertahan pada pendirian), mengatakan juga
akhirnya bahwa “Nasakom jiwaku”, sesuai benar dengan ajaran Islam yang menentang
pengisapan, penindasan, dan perbudakan. (Pernyataan KH Masjkur, Duta
Masyarakat 4 Agustus 1965).[3]
Masalah gelar waliyul Amri itu mengagetkan
umat Islam. Pada tahun 1954 umat Islam Indonesia dikejutkan oleh keputusan suatu
konperensi Ulama di Cipanas, Jawa Barat, 2-7 Maret 1954, yang memberikan kepada
Presiden Soekarno gelar Waliy al-Amri Dharuri bi al Syaukah (bis-Syaukah).
Arti harfiyahnya pelindung (atau orang yang bertugas mengurus) secara
dharurat soal-soal dengan diberi kekuasaan.
Persatuan Islam di Bandung dalam pernyataannya
tanggal 14 Maret 1954 mengatakan bahwa keputusan itu tidak mengikat secara
hukum. Organisasi ini mengingatkan bahwa konperensi hanya terbatas pada ulama
tertentu yang dipilih oleh Menteri Agama K.H Masjkur dari NU. Perlu diingat
bahwa Persatuan Islam dalam soal agama banyak tidak sependapat dengan NU.
Konperensi itu tidak berwenang mengambil keputusan tersebut, katanya tegas, dan
ia menambahkan bahwa semua aparat negara termasuk presiden, kabinet, parlemen
hanya bersifat sementara; mereka tidak pernah dipilih oleh rakyat.
Menurut persatuan Islam, istilah Waliy al-Amri
Dharuri hanya dapat dipergunakan pada negara yang berdasar Islam.[4]
Tanggapan negatif terhadap keputusan tentang gelar itu juga dilancarkan oleh
Arudji Kartawinata dari PSII . Keterangan Arudji mengundang kecaman dari Idham
Chalid dari NU.[5]
Sebegitu menjunjungnya terhadap Soekarno dan PKI,
bahkan pernyataan KH Masjkur itu hanya sebulan menjelang pemberontakan Gerakan
30 September PKI 1965, ternyata orang-orang NU bahkan jadi sasaran utama
pembantaian oleh PKI. Rumah-rumah para ulama atau kiyai pun ditandai untuk
diculik dan disembelih oleh pemberontak PKI. Sebagaimana sudah sebegitu
tingginya orang-orang NU mengangkat-angkat penjajah Belanda, kemudian pada masa
perang orang-orang NU juga jadi sasaran utama penembakan dengan senjata
otomatis, sementara orang NU tentu saja sebagaimana masyarakat Islam pada
umumnya penduduk Indonesia tak punya senjata. Jadi, apa gunanya mereka
menjnjunjung-junjung penjajah Belanda, diktator Soekarno yang anti Syari’at
Islam itu, dan juga mendekat-dekat dengan PKI? Toh jadi sasaran-sasaran
juga?
Menjelang pemilu 1982 di tubuh NU ada ketegangan
sesama NU yang sangat berperang urat saraf. Seluruh aparatur NU mengutuk Naro
dan mencela Idham Chalid dalamm kasus daftar calon legislatif yang dalam Hal ini
Idham Chalid dianggap menurut saja kepada Naro, tanpa musyawarah dan langsung
diantar oleh Naro ke rumah Amir Macmud, menteri dalam negeri. Akhirnya
tokoh-tokoh ulama terkemuka NU termasuk sesepuh turun tangan guna mencari
penyelesaian yang sebaik-baiknya. Mereka berkunjung ke rumahnya Idham Chalid di
Jakarta, dan di hadapan Rais ‘Aam KH Ali Maksum dan para rais yang lain, KH
As’ad Sjamsul Arifin, KH Machrus Ali, dan KH Masjkur, KH Idham Chalid
menyerahkan mandatnya secara tertulis dari jabatannya sebagai ketua umum PBNU
dengan alasan kesehatan. Persitiwa itu terjadi pada tanggal 2 Mei 1982, dua
hari sebelum Pemilu, 4 Mei 1982. Tapi dianggap mulai berlakunya pada tanggal 6
Mei 1982.
Tetapi apa lacur, baru 8 hari mandat itu diserahkan
kepada Rais ‘Aam maka masyarakat terkejut luar biasa, apalgi kalangan
intern NU, bagaikan mendengar petir menyambar di siang bolong: Idham
Chalid mencabut kembali penyerahan mandatnya itu pada tanggal 14 Mei 1982 dan
menyatakan bahwa ia tetap sebagai ketua umum PBNU seperti biasa. Ini suatu
keajaiban alam dalam dunia pergerakan di bumi kita ini, yang sebelumnya belum
pernah terjadi dalam sejarah organisasi. Mengapa bisa terjadi demikian?[6]
Periode selanjutnya, NU ibarat bermuka tiga, masih
ada yang ke PPP, tak sedikit pula yang menyeberang ke Golkar sambil menggembosi
PPP, dan tidak dilarang masuk ke PDI.
Tampaknya menjadi penggembos pertai bekas rumahnya
sendiri sambil jadi pendompleng partai lain dirasakan pula tidak enaknya. Dan
jangka waktunya kira-kira dalam rentang 1984-1998, cukup lama. Baru di tahun
1999 NU bisa berkampanye kembali untuk “rumahnya sendiri” yaitu PKB.
Tidak tahulah, apa saking kemaruknya atau karena hal
lain, sampai-sampai konon di Jawa Timur, dari orang PKB ada yang
kampanye di tempat pelacuran, dengan janji tidak akan menggusur lokalisasi
tempat terlaknat itu, apabila partainya menang. Kenyataan seperti itu perlu
diurut dari lakon-lakon sebelumnya. Dari “sejarahnya” bisa disimak, NU
sebenarnya bisa bersikap alim dalam menegakkan kebenaran, misalnya mempopulerkan
bahwa joget-joget itu sebetulnya adalah maksiat. Tetapi sayangnya, di saat
“menegakkan kebenaran” atau “amar ma’ruf nahi munkar” itu dilaksanakan, ternyata
tujuannya justru hanya untuk mengempesi rekannya sendiri. Sedang ketika di dalam
partai Golkar, mereka tidak mau atau tak berani menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, bahkan jogetisasi dijadikan paket nasional di mana-mana pun kaum NU diam
saja. Selanjutnya, ketika NU punya rumah sendiri yaitu PKB, justru mereka lebih
tidak beramar ma’ruf nahi munkar lagi, namun malahan ada yang berani
menghalalkan yang haram, dan berjanji untuk melestarikan keharaman yaitu
lokalisasi pelacuran. Dan setelah “perjuangannya” sukses, hingga Ketua PBNU
Abdurrahman Wahid bisa jadi presiden, amar ma’ruf nahi munkar pun malah diputar
balikkan hanya untuk mempertahankan kursi jabatan Gus Dur. Hingga kasus Gus Dur
memangku isteri orang (fotonya otentik), mereka bela. Gus Dur tersangkut kasus
korupsi dana Yayasan karyawan Bulog, mereka bela. Kasus kebohongan Gus Dur
tentang penjelasannya mengenai duit sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam
Hasanal Bolkiah 2 juta dolar Amerika, mereka bela.
Jadi, kalau
orang yang mereka musuhi ada sedikit kesalahan, mereka jatuhkan sejadi-jadinya.
Bahkan masjid, madrasah, sekolahan, perkantoran milik Muhammadiyah, Al-Irsyad,
dan HMI yang tidak bersalah apa-apa, mereka rusak. Namun kalau kesalahan itu ada
pada mereka, walau itu jelas salah, dan bahkan salahnya sangat besar, tetap
mereka bela.
Tingkah dan sikap mereka itu sebenarnya memang
mirip Yahudi, ya memang tokoh mereka Abdurrahman Wahid itu adalah pendukung
utama Yahudi, maka mau diapakan lagi. Tetapi sekali lagi, ini bukan setiap orang
NU. Masih ada di antara mereka yang baik-baik, tentu saja. Tetapi masalahnya,
mereka kenapa diam? Atau mungkin memang mereka yang baik-baik itu kalah suara,
boleh jadi.
Ya sudahlah, sampai di sini saja uraian tentang
“pagi kedelai sore tempe”. Ini semua hanya sekadar contoh soal. Yang lain-lain
tentunya masih ada sampai sekarang. Bahkan menjadi keputusan DPR hasil Pansus
Buloggate dan Bruneigate 1 Februari 2001 bahwa tokoh NU, Presiden Abdurrahman
Wahid, diputuskan bahwa dia melakukan kebohongan publik dalam kasus sumbangan
dari Sultan Brunei Darussalam Hasanal Bolkiah.
Setelah dibuka-buka lembaran sejarah, ternyata kasus
semacam itu sudah sejak zaman Belanda mereka lakukan.
[1] K.H. Firdaus
A.N, Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru yang Tidak Boleh Berulang Lagi
di Era Reformasi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan pertama 1999, halaman
52.
[2] H Hartono Ahmad
jaiz, Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi Ketakutan Ekstrimis Nasrani, Dea
Press, Jakarta, cetakan 1, 1999, halaman 10, baca juga Rukun Iman
Diguncang, Pustaka an-Naba’ Jakrta, cetakan II, 1421H, halaman
92-93.
[3] Deliar Noer,
Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Pers, Jakarta, cetakan pertama,
1987, halaman 404-405.
[4] Deliar Noer,
ibid, halaman 342-343.
[5] Ibid, halaman
344.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar