Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat
(1)
Dari penuturan Al Gazhali dan ulama
lainnya dapat ditarik pengertian: bahwa hakikat taubat yang diperintahkan Allah
SWT bagi seluruh kaum mu'minin agar mereka beruntung, serta memerintahkan agar
mereka bertaubat dengan taubat nasuha, terdiri dari beberapa unsur dan faktor
yang tiga itu: tersusun secara berurutan satu sama lain. Seperti dijelaskan oleh
Al Ghazali.
1. Unsur pengetahuan dalam taubat
Unsur atau faktor pertama dari
unsur-unsur itu adalah unsur pengetahuan. Yang tampak dalam pengetahuan manusia
akan kesalahannya dan dosanya ketika ia melakukan kemaksiatan kepada Rabbnya,
serta matanya terbuka sehingga ia dapat melihat kesalahannya itu, melepaskan
sumbatan dari telinganya sehingga ia dapat mendengar, dan mengusir kegelapan
dari akalnya sehingga ia dapat berpikir, dalam setiap kesempatan kembalinya diri
kepada fithrahnya. Saat itu ia akan mengetahui keagungan Rabbnya, kemuliaan
maqam-Nya dan kebesaran hak-Nya. Juga mengetahui kekurangan dirinya, mengapa ia
mengikuti syaitan, serta kerugiannya yang jelas di dunia dan akhirat jika ia
terus berjalan mengikuti perilaku Iblis dan tentaranya.
Saat itu, manusia butuh untuk memusatkan
pikirannya, menggunakan akalnya, serta merenungi dengan dalam tentang dirinya
dan apa yang berada di sekelilingnya, nilai-nilai yang ia miliki, perjalanan
dirinya, akhir perjalanannya kemana, makna kehidupannya, kematian dan apa
setelah kematiannya, tentang ni'mat Allah yang demikian besar baginya, sikapnya
terhadap ni'mat-ni'mat itu, tentang ni'mat Allah yang terus turun kepadanya, dan
kejahatan dirinya akan dilaporkan kepada Allah. Allah SWT akan menghidupkan
cintanya dengan memberikan ni'mat kepadaanya walaupun Allah SWT tidak butuh
kepadanya. Ia mendorong kemarahan Allah dengan melakukan maksiat, sedangkan ia
adalah orang yang amat membutuhkan Allah, dan Allah tidak menutup pintu-Nya bagi
hamba-hambaNya, meskipun mereka telah melampaui batas terhdap diri mereka
sendiri, dan Allah terus memanggil mereka:
"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya". (QS. az-Zumar: 53)
Kesadaran jiwa adalah pangkal pertama
bagi bangunan taubat. Dialah yang akan mendorong hati untuk menyesal, kemudian
bertekad untuk meninggalkan dosa itu, lidahnya beristihgfar, kemudian tubuhnya
mencegah dari melakukan dosa itu.
Inilah yang diperingatkan oleh Al Quran
dalam firman Allah SWT:
"Dan orang -orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya" (QS. al Hajj: 54.). Dengan runtutan ini yang ditunjukkan oleh hurup sambung "fa".
Yang pertama adalah pengetahuan, yang
dengannya manusia mengetahui bahwa kebenaran adalah dari Rabb mereka. Dan itu
akan menyebabkan mereka mengimaninya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan adalah
petunjuk dan pemimpin keimanan. Kemudian keimanan itu akan mengantarkan pada
ketundukan dan khusyunya hati.
Allah SWT berfirman tentang sifat kaum
muttaqin:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (QS. Ali Imran: 135)
Mereka itu menyebut Allah, dan meminta
ampunan dari dosa mereka kepadaNya. Istighfar itu terjadi akibat dzikir atau
mengingat Allah SWT. Dan dzikir di sini adalah suatu macam pengetahuan. Karena
yang dimaksud di sini bukan dzikir dengan lidah, seperti disangka orang. Namun
ia adalah kebalikan dari lupa dan kealpaan. Dan ia adalah bagian dari
macam-macam pengetahuan. Seperti firman Allah SWT:
"Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa." (QS. al Kahfi: 24)
Ilmu pengetahuan dalam Islam didahulukan
dari keadaan jiwa dan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, tidak aneh jika ayat
yang pertama diturunkan dalam Al Quran adalah:
"Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang telah menciptakan." (QS. al 'Alaq: 1)
dan membaca adalah kunci ilmu
pengetahuan.
Imam Al Bukhari berkata dalam shahihnya:
bab: "Ilmu sebelum beramal". Ia berdalil dengan firman Allah
SWT:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu'min, laki-laki dan perempuan". (QS. Muhammad: 19)
Maka di sini didahulukan perintah untuk
berilmu dari perintah untuk beristighfar.
Al Qusyairi berkata dalam kitabnya
"Risalah Qusyairiah": taubat yang pertama adalah: bangunnya hati dari kelalaian,
serta sang hamba melihat kondisi yang buruk akibat dosa yang ia poerbuat. Dan
itu akan mendorongnya untuk mengikuti dorongan hati nuraninya agar tidak
melanggar perintah Allah SWT. Karena dalam khabar disebutkan: "penasehat dari
Allah SWT terdapat dalam hati setiap orang muslim". (Hadits diriwayatkan oleh
Ahmad dari An Nuwas bin Sam'an). Dan dalam khabar:
"Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah itulah hati". (Hadits muttafaq alaih dari Nu'man bin Basyir).
Jika hatinya merenungkan keburukan
perbuatannya, serta ia menyadari dosa-dosa yang ia perbuat itu, niscaya daam
hatinya akan terdetik keinginan untuk bertaubat, dana menjauhkan diri dari
melakukan tindakan-tindakan yang buruk itu. Kemudian Allah SWT akan membantunya
dengan menguatkan tekadnya itu, melakukan tindakan koreksional atas
dosa-dosanya, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya dalam
bertaubat. (Risalah Qusyairiah dengan tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, dan Dr.
Mahmud bin Syarif, (juz 1/ 254, 255))
2. Unsur Hati dan Keinginan
Unsur kedua dalam taubat adalah: unsur
jiwa, yang berhubungan dengan hati dan keinginan diri. Atau dengna kata lain:
emosi dan inklinasi.
Dari unsur ini ada yang berhubungan
dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan.
a. Menyesal dengan sangat
Yang berkaitan dengan masa lalu adalah
apa ang kita kenal dengan penyesalan. Tentang ini terdapat hadits: "penyesalan
adalah taubat". Karena ia adalah bagian yang paling penting dari taubat. Seperti
dalam hadits "Hajji adalah Arafah". Karena ia adalah rukun yang paling penting
dalam hajji itu. al Qusyairi mengutip dari beberapa ulama: penyesalan itu cukup
untuk mewujudkan taubat. Karena penyesalan itu akan menghantarkan kepada dua
rukun lainnya, yaitu tekad dan meninggalkan perbuatan dosa. Adalah mustahil jika
ada seseorang yang menyesali tindakan yang masih terus ia lakukan atau ingin ia
lakukan kembali.
Penyesalan adalah: perasaan, emosi atau
gerak hati. Yaitu suatu bentuk penyesalan dalam diri manusia atas perbuatan dosa
yang ia lakukan terhadap Rabbnya, terhadap makhluk yang lain dan bagi dirinya
sendiri. Ini adalah penyeslan yang mirip dengan api yang membakar hati dengan
sangat. Malah ia akan merasakannya seperti dipanggang ketika ia mengingat
dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya atasnya. Itu adalah kondisi
"terbakar di dalam" yang diungkapkan oleh sebagian kaum sufi ketika mereka
mendefinisikan taubat: melelehkan lemak (yang terkumpul) karena kesalahan masa
lalu. Dan yang lain berkata: ia adalah api hati yang membakar, serta sakit dalam
hati yang tidak terobati!.
Al Quran telah mendeskripsikan sisi jiwa
ini bagi beberapa orang yang melakukan taubat, dengan deskripsi yang amat bagus.
Yaitu dalam kisah tiga sahabat yang absen dari mengikuti perang yang besar
bersama Rasulullah Saw, yaitu perang Tabuk. Yang merupakan peperangan pertama
Rasulullah Saw dengan negara yagn paling kuat di dunia saat itu: negara Romawi.
Mereka tidak mengungkapkan alasan bohong seperti kaum munafik, maka Rasulullah
Saw memerintahkan untuk mengucilkan mereka. Kemudian mereka menyesali perbuatan
mereka itu dengan sangat, dan dilukiskan oleh Al Quran sebagai
berikut:
"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat ) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". (QS. at-Taubah: 118)
Oleh karena itu Dzun-Nun al Mishri
berkata: hakikat taubat adalah: engkau merasakan bumi yuang luas ini menjadi
sempit karena dosamu, hingga engkau tidak dapat lari darinya, kemudian
kesempitan itu engkau rasakan dalam dirimu. Seperti diungkapkan oleh al Quran:
"dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka".
Di antara bentuk penyesalan adalah:
mengakui dosa, dan tidak lari dari pertanggungjawaban dosa itu, serta meminta
ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.
Seperti kita temukan dalam kisah Adam
setelah beliau dan istirnya memakan pohon yang dilarang itu:
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. al A'raf: 23)
Dan seperti kita temukan dalam kisah Nuh
ketika ia meminta ampunan kepada Rabbnya atas anaknya yang kafir. Dan jawaban
Ilahi terhadapnya adalah:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". (QS. Huud: 46)
Di sini Nuh a.s. merasakan kesalahannya,
dan iapun menyesalinya. Serta berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekatnya) . Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi". (QS. Huud: 47)
Dan seperti kita lihat dalam kisah Musa,
ketika beliau memukul seorang laki-laki dari Koptik dan
menewaskannya:
Musa berkata: 'Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (pemusuhannya)'. (QS. al Qashash: 15-16)
Juga kita lihat dalam kisah nabi
Yunus:
"Ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. al Anbiyaa: 87)
Meskipun jika kita perhatikan dosa-dosa
yang diperbuat oleh para Rasul itu adalah dosa-dosa kecil, terutama jika kita
perhatikan situasi dan kondisi terjadinya dosa itu, maka dosa-dosa itu memang
ringan. Namun para Rasul itu, karena halusnya perasaan mereka, hati mereka yang
hidup, serta perasaan mereka yang kuat akan hak Rabb mereka, maka mereka melihat
dosa itu sebagai dosa yang amat besar, mereka mengakui kesalahan diri mereka,
dan merekapun segera memohon ampunan dan maghfirah dari Rabb mereka, karena Dia
adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
b. Tekad yang kuat
Jika penyesalan itu berkaitan dengan
masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi dalam taubat yang
berkaitan dengan masa depan, dan tentang probabilitas ia melakukan pengulangan
perbuatan dosa itu kembali, serta bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia
perbuat. Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat
darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya selama-lamanya.
Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini
semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat
betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka
yang pada pagi harinya bertaubat sementara pada sore harinya kembali mengulangi
lagi dosanya!
Yang terpenting dalam masalah tekadnya
ini adalah agar tekad itu kuat dan betul-betul, saat bertaubat. Dengan tanpa
disertai oleh keraguan atau kerinduan untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau
juga berpikir untuk mengerjakannya kembali. Taubat itu tidak batal jika suatu
saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh
syaitan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan
kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia harus segera
melakukan taubat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa
takut taubatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT
berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [QS. al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah orang yang sering
meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia melakukan dosa ia mengetahui
bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa, maka dia segera melakukan
istighfar dan diapun mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir berkata: "Sedangkan
jika ia bertekad untuk bertaubat dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan
menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam
hadits sahjih "Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan
dosa yang sebelumnya".
Ibnu Katsir berkata: "apakah syarat
taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti
diungkapkan dalam hadits dan atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya
selama-lamanya", ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk
menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa
setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang
telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat
menghapus dosa yang sebelumnya" [Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al
Halabi.]?.
Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam
kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut dua pendapat:
Satu pendapat mengharuskan agar orang
itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali
melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak
sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan
mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh
tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan
kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia
dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia
seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga
taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini dibangun di atas
dasar pertanyaan: "Apakah seorang hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian
ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan
taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang
ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus,
sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang
terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua
pendapat:
Satu kelompok berpendapat: ia kembali
menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya dahulu itu, karena taubatnya
telah rusak dan batal ketika ia mengulangi dosanya. Mereka berkata: karena
taubat dari dosa adalah seperti keislaman dengan kekafiran. Seorang yang kafir
ketika ia masuk Islam maka keislamannya itu akan menghapuskan seluruh dosa
kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian jika ia murtad, dosanya
yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa murtad. Seperti terdapat
dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliyahan) maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa jahiliah. Dan siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan pertanggungjawaban akan dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan yang lainnya (setelah Islam)".
Ini adalah orang yang masuk Islam namun
merusakan keislamannya itu. Dan telah diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah
perusakan yang paling besar terhadap keislaman seseorang. Maka ia akan kembali
menanggung dosa yang telah ia lakukan dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam,
dan keislaman yang pernah ia rasakan itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama
iu. Demikian juga dosa orang yang taubatnya ia langgar, maka dosa yang dilakukan
sebelum taubat yang ia langgar itu kembali ia tanggung. Juga tidak menghalangi
dosa yang ia lakukan kemudian.
Mereka berkata: karena kesahihan taubat
disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalani, maka sesuatu yang tergantung
dengan suatu syarat akan hilang ketika syarat itu lenyap. Seperti kesahihan
Islam disayaratkan kontinuitasnya dan terus dijalaninya. Mereka berkata: taubat
adalah wajib secara ketat sepanjang usia seseorang. Masanya adalah sepanjang
usia orang itu. Oleh karena itu, hukumnya-pun harus terus ditaati sepanjang
usianya. Maka bagi dia, masa sepanjang usianya itu adalah seperti orang yang
menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ketika ia berpuasa
pada hari itu. Maka jika sepanjang hari ia menahan diri dari yang membatalkan
puasa, kemudian ia melakukan perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya,
niscaya seluruh puasanya yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomaits batal,
dan tidak dinilai sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa sama
sekali.
Mereka berkata: ini didukung oleh hadits
sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke neraka itu".
Ini lebih umum dari amal yang kedua itu,
suatu kekafiran yang menghantarkan kepada neraka selamanya, atau kemaksiatan
yang menghantarkannya ke neraka. Karena Rasulullah Saw tidak mensabdakan: "maka
ia murtad dan iapun meninggalkan Islam". Namun menghabarkan bahwa: ia beramal
dengan amal yang menghantarkannya ke neraka. Dan dalam sebagian kitab sunan
terdapat: "Ada seorang hamba yang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT
selama enam puluh tahun, dan ketika ia menjelang kematiannya ia melakukan
kecurangan dalam berwasiat maka iapun masuk neraka".
Penutup yang buruk lebih umum dari
penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan seluruh amal perbuatan dinilai
dengan akhir amal itu.
Sedangkan kelompok kedua -- yaitu mereka
yang berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia mintakan taubatnya tidak kembali
ditanggungnya jika ia melanggar taubatnya itu-- berdalil bahwa dosa itu telah
terhapus dengan taubat. Maka ia seperti orang yang tidak melakukannya sama
sekali, sehingga ia seperti tidak ada. Sehingga ia tidak kembali ke situ
setelahnya. Namun yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa
yang lama.
Mereka berkata: tidak disyaratkan dalam
kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah
menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali
perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali
melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Mereka berkata: ini tidak seperti
kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain
lagi masalahnya. Oleh karenanya ia menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan
kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah
dilakukannya.
Mereka berkata: taubat adalah termasuk
kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan
dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan. Pendapat itu tidak
benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang
karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang yang
berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik.
Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar
dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka
fasik. Dan kedua mazhabn itu adalah batil dalam Islam. Bersebrangan dengan
nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS. an-Nisa: 40].
Mereka berkata: Imam Ahmad menyebutkan
dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].
Aku berkata: ia adalah orang yang setiap
kali melakukan dosa ia segera bertaubat dari dosa itu. Kalaulah mengulang dosa
itu membatalkan taubatnya niscaya ia tidak disenangi oleh Rabbnya, malah
menimbulkan kebencian-Nya.
Mereka berkata: Allah SWT mengaitkan
diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak
mengulanginya. Allah SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Terus melakukan dosa adalah: membiasakan
hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah
yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.
Mereka berkata: Sedangkan kontinuitas
taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan
syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya
dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at
dalam shalat. Karena ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu
tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya.
Sedangkan taubat, ia adalah adalah ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa.
Setiap dosa memiliki cara taubat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu
ibadah dan tidak melakukan yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya
itu tidak sah karena ia tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah
disebutkan sebelumnya.
Namun, sama dengan ini adalah: orang
yang puasa pada bulan Ramadlan kemudian ia membatalkan puasanya itu tanpa adanya
uzur, maka apakah puasa yang ia batalkan itu membatalkan pahala puasa yang telah
ia lakukan?
Contoh yang lain adalah orang yang
shalat namun ia tidak berpuasa , atau yang yang menunaikan zakat namun tidak
pernah melaksanakan ibadah hajji (padahal ia mampu).
Pokok masalah: taubat sebelumnya adalah
kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa
itu itidak menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang
dilakukan bersamaan dengannya.
Mereka berkata: ini dalam pokok-pokok
(ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat bahwa seseorang bisa mendapat
perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau
ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada
orang yang beriman namun masih mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan
kekafiran. Dan orang itu dapat lebih dekat kepada suatu sisi dari sisi yang
lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu. Seperti firman Allah SWT: "Mereka
pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali Imran:
167]. Dan berfirman:
"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" [QS. Yusuf: 106].
Allah SWT mengakui keimanan mereka,
sambil menyebut kemusyrikan mereka. Namun jika bersama kemusyrikan ini juga
terdapat pengingkaran terhadap Rasul-rasul Allah maka keimanannya kepada Allah
SWT itu tidak bermakna lagi. Sedangkan jika mereka membenarkan apa yang dibawa
oleh Rasulullah Saw, sementara mereka tetap melakukan beragam tindakan musyrik,
itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan kepada para Rasul dan hari kiamat.
Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang lebih besar daripada pelaku dosa-dosa
besar.
Kemusyrikan mereka adalah dua macam:
musyrik yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Yang tersembunyi dapat
diampuni, sedangkan yang terang-terangan tidak diampuni oleh Allah SWT kecuali
dengan melakukan taubat dari pebuatannya itu. Karena Allah SWT tidak mengampuni
kemusyrikan.
Dengan dasar ini, ahli sunnah mengatakan
bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka, namun setelah merasakan siksa neraka
itu mereka akan keluar darinya dan masuk surga, karena adanya dua unsur pada
dirinya.
Jika demikian, maka orang yang mengulang
melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT karena ia
mengulangi dosanya, namun juga dicintai karena ia telah melakukan taubat dan
amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah menetapkan bagi segala seuatu
sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun
melakukan kezhaliman.
"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [QS. Fushilat: 46].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar